Abdullah Hehamahua
Alhamdulillah, berjumpa lagi dalam rubrik ini, seri ke-14. Semoga, kita sudah mulai berlapang dada pada hari ketiga-belas shaum tahun ini karena berperilaku dialogis, musyawarah.
Indikatornya, angka perceraian menurun. Sebab, suami senantiasa berdiskusi dengan isteri mengenai masalah rumah tangga. Angka KDRT juga menurun. Sebab, ayah dan ibu juga mulai diskusi dengan anak-anak mengenai aspirasi mereka. Bahkan, PHK tidak lagi terjadi. Sebab, majikan selalu berdialog dengan karyawan, baik mengenai kerja-kerja perusahaan, maupun kesejahteraan mereka.
Penulis, berdasarkan pemikiran, pemahaman, penghayatan, pengamalan, dan perilaku seperti itulah, mengkomunikasikan seri ke-14 ini dengan subtema: AL-QUR’AN MENJELASKAN ASPEK EKONOMI.
Ekonomi Kapitalisme dan Komunisme
Manusia, sejatinya perlu makan, minum, berpakaian, sehat, dan punya tempat tinggal. Semuanya itu dikenal sebagai masalah ekonomi. Manusia juga ingin mendapat pendidikan yang layak. Apalagi, pilar pertama ideologi Islam adalah pendidikan.
Proses pendidikan, menjadikan seseorang dan masyarakat sebagai manusia berbudaya. Salah satu aspek budaya itu adalah politik. Konsekwensi logisnya, pendidikan dan politik dalam operasionalisasinya memerlukan sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana tersebut, dalam masyarakat modern dikenal sebagai ekonomi.
Ekonomi, menurut KBBI adalah ilmu yang mempelajari asas-asas produksi, distribusi, dan pemakaian barang serta kekayaan. Aplikasinya, ada ekonomi berbentuk kapitalisme, komunisme, tradisional, dan islami.
Adam Smith yang dianggap sebagai pencetus awal teori kapitalisme, mengatakan: “Semua orang di dunia ini seharusnya diberi kebebasan untuk bekerja atau berusaha dalam persaingan yang sempurna tanpa intervensi dari pemerintah.”
Dampak negativenya, cara apa pun, ditempuh, yang penting, keuntungan diperoleh. Dampak negative lanjutannya, halal, haram, legal, maupun illegal, semuanya bisa dilakukan. Sebab, bagi kapitalisme, berlaku moto: “dengan modal sekecil-kecilnya, mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.” Itulah “Multi National Corporation” (MNC), sistem ekonomi Yahudi internasional.
Marx muncul dengan ide yang melawan kapitalisme. Menurutnya, tidak boleh ada kaum borjuis yang menguasai kekayaan pribadi dengan memperbudak kaum buruh. Konsekwensi logisnya, lahir ideologi komunisme yang melarang pemiiikan pribadi. Semuanya harus dikuasai negara.
Islam sejatinya tidak membenarkan perdagangan model MNC. Sebab, dalam operasi MNC, perusahaan besar semakin besar. Pengusaha kecil, tambah terpinggirkan. Ini karena kapitalisme menerapkan sistem riba, mencurangi timbangan, menjual barang rusak, dan memeras pembeli. Wajar jika majalah Forbes 2023 menyebutkan, dari 100 orang terkaya di Indonesia, hanya lima orang muslim.
Islam, tidak hanya membantah kapitalisme, tapi juga menolak komunisme. Sebab, Islam mengakui pemilikan pribadi. Maknanya, setiap Muslim/Muslimah bisa sekaya-kayanya. Namun, cara memeroleh dan mendistribusikan kekayaannya, tidak bertentangan dengan syariah.
Nabi Muhammad SAW, Pedagang Qur’ani
Rasulullah SAW dapat dikategorikan sebagai pedagang Qur’ani. Sebab, barang dagangan milik Khadijah yang dijajakan, disebutkan harga pokok dari pemiliknya. Berapa harga jualnya. ? Terserah bagi pembeli. Itulah sebabnya, barang jualan Rasulullah SAW cepat laku. Bagi Khadijah dan penduduk Makah, perilaku pemuda Muhammad tersebut yang membuat beliau digelar sebagai Al Amin (orang yang dipercaya).
Pemuda Muhammad sebagai al amin terrepleksikan dalam bentuk, tiada riba, tidak mencurangi timbangan, tidak menjual barang rusak, dan jauh dari menzalimi pembeli. Itulah pedagang Qur’ani sebagaiman bunyi ayat-ayat berikut:
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al Baqarah: 275).
“Celakalah orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang) (Mereka adalah) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. (Sebaliknya,) apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka kurangi.” (QS. Al Mutaffin: 1 -3).
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di antara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An Nisaa: 29).
Pasar Rasulullah SAW
Rasulullah SAW, tidak lama tiba di Madinah, memerintahkan para sahabat membuka pasar. Sebab, pasar yang ada milik orang Yahudi di mana proses jual belinya bertentangan dengan syariat Islam, yakni: riba, mencurangi timbangan, dan menzalimi pembeli.
Sistem ekonomi Islam sejatinya bermodel koperasi. Sebab, semua penjual di pasar Rasulullah SAW tersebut bekerja sama dalam jual beli. Bukan model pasar bebas seperti Sistem kapitalisme.
Bung Hatta, mantan Wakil Presiden, berdasarkan pasar Rasulullah SAW itulah menjadikan koperasi sebagai Sistem perekonomian Indonesia. Bahkan Bung Hatta memasukkan pasal 33 UUD45 yang berbunyi: “bumi, air dan sumber alam yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Simpulan
1. Ekonomi Islam adalah usaha, baik berupa perniagaan, baitul mal, maupun industri yang melahirkan kesejahteraan dan keberkahan Allah SWT.
2. Ekonomi Islam adalah semua usaha perniagaan, baitul mal dan industri tanpa riba, tiada barang rusak, dan timbangan tidak dicurangi. Bahkan, tanpa penzaliman terhadap pembeli atau pelanggan
Marilah, memasuki pertengahan ramadhan ini, kita konsumsi makanan, minuman serta pemakaian barang yang bersih dari riba, hasil kecurangan dan penzaliman orang lain. Dampak positifnya, kita dapat menyabet medali taqwa pada 1 Syawal nanti. In syaa Allah !!!
(Depok, 13 Maret 2025).