Penulis: Donny Maulana
Berbagai dramaturgi hingga pertunjukan anekdot beberapa waktu terakhir dipertontonkan oleh berbagai elit politik menjelang pesta demokrasi tahun 2024 yang akan diselenggarakan pada 14 Pebruari 2024.
Praktik-praktik tersebut dijalankan bahkan secara vulgar tanpa mempertimbangkan aspek etika jabatan dan marwah yang diemban sebagai penyelenggara negara.
Hal tersebut tentu sangat mengawatirkan karena jika tidak ada aspek “check and balance”, ini akan mengarah pada tindakan “abuse of power” atau penyalahgunaan kekuasaan.
Kekecewaan akan praktik tersebut bahkan sudah mengusik ruang-ruang akademis.
UGM, UII, UNHAS hingga UI secara terang dan gamblang mengutarakan keprihatinan dan kekecewaan akan praktik penyelewengan hingga terjadinya degradasi marwah demokrasi yang terjadi.
Hal ini kemungkinan akan menjalar kepada kampus hingga simpul-simpul akademis lainnya.
Bentuk kekecewaan itu disampaikan dalam bentuk petisi yang dibacakan secara terbuka dan tersebar secara masif di media sosial.
Beberapa hal yang menjadi catatan para akademisi (yang secara kepakaran tidak bisa diragukan) utamanya terkait pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi, keterlibatan/intervensi sejumlah aparat penegak hukum dalam proses demokrasi perwakilan yang sedang berjalan, dan pernyataan kontradiktif Presiden Republik Indonesia tentang keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik (antara netralitas dan keberpihakan).
Lebih jauh, para akademisi tersebut juga menyoroti adanya distribusi bantuan sosial melalui pembagian beras dan bantuan langsung tunai (BLT) oleh Presiden Joko Widodo yang ditengarai sarat dengan nuansa politik praktis yang diarahkan pada personalisasi penguatan dukungan terhadap pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tertentu.
Tidak berhenti di situ, juga ada desakan agar calon presiden, calon wakil presiden, para menteri dan kepala daerah yang menjadi tim sukses, serta tim kampanye paslon manapun, untuk mengundurkan diri dari jabatannya, guna menghindari konflik kepentingan (conflict of interest) yang berpotensi merugikan bangsa dan negara.
Memang dalam kondisi di mana negara sedang menyiapkan pesta demokrasi serentak, koridor keamanan dan ketertiban juga menjadi fokus para penyelenggara negara.
Dalam konteks ini, para akademisi dari berbagai kampus di atas juga menyeru agar tidak ada segala bentuk tindakan yang menindas kebebasan berekspresi masyarakat dan jaminan terhadap hak pilih rakyat yang dapat dijalankan tanpa adanya intimidasi dan ketakutan.
Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana dengan gerakan kolektif mahasiswa sebagai bagian dari simpul sivitas akademika tersebut?
Rasa-rasanya, saat ini adalah momen yang tepat dan (masih belum terlambat) untuk simpul historis ini masuk dalam dinamika politik nasional sebagai salah satu kekuatan ekstraparlementer dengan fungsi check and balance untuk mengawal berbagai tuntutan di atas.
“Gerakan Mahasiswa: Garda Terdepan Gerakan Ekstraparlementer sebagai Embrio Gerakan Civil Society dan People Power!”
Seperti diketahui, dalam aras sejarah nasional peran mahasiswa memang tidak dapat dikesampingkan.
Sebagai guardian of value dan agent of social control, mahasiswa sebagai juga representatif pemuda selalu hadir dalam saat-saat penting (sebut saja pada saat pembentukan organisasi kebangsaan 1908, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945, Penggulingan rezim 1966, Malari 1974, Reformasi 1998 hingga Reformasi dikorupsi 2019).
Rasa-rasanya dalam momentum regenerasi kepemimpinan republik yang akan dihelat pada tahun 2024 ini, peran mahasiswa juga harus ditunjukkan sebagai bentuk pengawalan agar semua aspek kenegaraan tetap berjalan pada rel dan koridor yang ada (tidak ada penyelewengan, penyalahgunaan wewenang hingga degradasi nilai terutama nilai-nilai etik dan demokrasi).
Karena sebagai juga insan akademis yang mempunyai independensi yang jelas dan bersih dari kepentingan politik praktis manapun, gerakan organik mahasiswa relatif akan mampu menjadi embrio/ benih untuk menggerakkan perlawanan rakyat (civil society/ people power).
Mengadaptasi sintesis Bung Karno dalam karya monumentalnya yang terangkum dalam “Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1”,
“(Mahasiswa), di manakah tinjumu? Di manakah kekuatan yang menghancurkan segala kekuatan yang melawan itu? Memang, memang! Tiadalah suatu kekuatan yang bisa mendesak dan yang bisa menghancurkan kejahatan, melainkan kekuatan ‘Pergerakan Rakyat’, yang bagai palu-godam haibatnya menjatuhkan hantaman penuntutannya, dan yang sebagai banjir melenyapkan segala hal yang menghalang-halanginya, jikalau tuntutan itu tidak dikabulkan. Tiadalah suatu kekuatan yang bisa mendesaknya, melainkan suatu ‘Massa-Aksi’ yang besar dan haibatnya ada berlipat-lipat ganda”.
Berangkat dari hal tersebut, gerakan kolektif melalui massa aksi sebagai bentuk people power menjadi penting, sebagai gerakan moral dan ekstraparlementer untuk mengawal jalannya kekuasaan.
Karena dalam kondisi kekuasaan yang absolut, ruang untuk lahirnya tindakan korup, penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang, kolusi dan nepotisme akan semakin besar (power tends to corrupt, and absolute power, corrupt absolutely-Lord Acton)
Singkatnya, gerakan mahasiswa diperlukan guna mengembalikan lagi kekuatan civil society sebagai penjaga marwah demokrasi di tanah air (utamanya dalam konteks menuju pesta demokrasi 2024) dan kontrol kekuasaan.
Karena seyogyanya “pesta”, semua lapisan masyarakat harus bisa dipastikan bersuka cita, tidak terpolarisasi oleh kepentingan elit apalagi mendapat intimidasi dalam bentuk apapun.
Terakhir dan sebagai penutup, saya menyeru kepada semua simpul gerakan mahasiswa, Tunjukkan Tinjumu!
“Tempat tergelap di neraka dicadangkan bagi mereka yang tetap bersikap netral di saat krisis moral. Dalam masa berbahaya, tidak ada dosa yang lebih besar daripada tetap diam,” Dan Brown-Inferno.
Ketua DPC GMNI Malang/ Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Malang