Oleh: Achmad Ramli Karim
Pemerhati Politik & Pendidikan
Latar belakang lahirnya istilah politik dagang sapi adalah kemiripan proses negosiasi pembagian kekuasaan dalam sistem demokrasi liberal yang pernah diberlakukan di Indonesia. Masa Demokrasi Liberal berlangsung sejak pengakuan kedaulatan Indonesia pada Konferensi Meja Bundar pada 27 Desember 1949, hingga Dekrit Presiden pada 22 Juli 1959, yang memulai masa Demokrasi terpimpin.
Pada masa ini kabinet dipilih dari partai politik, atau koalisi partai politik, yang terbesar yang ada di parlemen atau disebut Kabinet Parlementer. Karena sistem ini menyebabkan negosiasi antara partai-partai untuk membentuk koalisi. Negosiasi ini melibatkan pembagian kekuasaan, seperti pembagian jabatan menteri. Negosiasi ini dilakukan rahasia atau tanpa diketahui publik, dengan para pemimpin partai menentukan pembagian posisi dalam kabinet.
Negosiasi ini disebut politik dagang sapi. Istilah ini berasal dari tradisi berdagang sapi di Minangkau (Sumatera Barat) di mana pedagang dan pembeli melakukan negosiasi dengan rahasia yang ditutupi oleh kain sarung. Karena kemiripan negosiasi dagang sapi dengan pembagian kekuasaan pada pembentukan kabinet maka proses ini disebut “politik dagang sapi”
Setelah perhelatan pesta demokrasi Pilpres 2024 muncul pertanyaan publik, apakah para elit politik kembali mempertontonkan “politik dagang sapi.” ? Hal ini berkaitan dengan pembagian jabatan kementerian kepada anggota koalisi, tetapi juga dalam pembagian imbalan kepada lawan politik. Sehingga diprediksi akan menjadi birokrasi gemuk pada kabinet mendatang.
Politik dagang sapi dalam demokrasi Pancasila, muncul kembali 10 tahun terakhir setelah diberlakukannya Presidential threshold yaitu ambang batas suara yang harus diperoleh partai politik dalam suatu gelaran pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
Berdasarkan Pasal 222 UU No 7 Tahun 2017, berbunyi: Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Manakala sebuah minoritas kecil atau non pribumi dari masyarakat yang menduduki posisi puncak dalam sistem pemerintahan, dan memiliki kekuatan untuk menetapkan keputusan politik dan kebijakan publik, maka rasa cinta tanah (nasionalisme) suatu bangsa sudah runtuh. Dalam tatanan sosial bangsa Indonesia saat ini meskipun jumlahnya sedikit, mereka memiliki peran yang dominan dan berpengaruh dalam struktur sosial dan ekonomi Indonesia.
Jika kelak masyarakat non pribumi dan minoritas berhasil menduduki posisi puncak kekuasaan NKRI, maka saat itu prosentase penduduk pribumi dengan non pribumi sudah seimbang atau lebih. Karena nasionalisme pribumi sudah dirobohkan oleh senjata ” *politik dagang sapi* “, yang dimotori oleh investor non pribumi dan mereka sudah menguasai sumber daya alam (SDA) Indonesia.
Sementara pemahaman publik tentang pribumi dan non pribumi, juga tidak dipahami asal muasal pembagian kedua jenis kependudukan tersebut.
Pribumi adalah istilah yang merujuk pada penduduk asli Indonesia. Pribumi juga dapat diartikan sebagai kelompok etnis yang berasal dari warisan sosial budaya yang sama dan telah berjasa dalam kemerdekaan serta membangun peradaban bangsa Indonesia.
Istilah pribumi muncul di era kolonial Hindia Belanda, setelah diterjemahkan dari kata Inlander dalam bahasa Belanda. Istilah ini pertama kali digunakan dalam undang-undang kolonial Belanda tahun 1854.
Etnis yang menolak menjadi pribumi atau WNI asli adalah etnis Tionghoa (Cina) dan tetap memilih kewarganegaraan asalnya. Makanya etnis tionghoa dikenal memiliki kewarganegaraan ganda (Dwi Kewarganegaraan) dan dikenal dengan istilah “WNI Non Pribumi”.
Sedangkan etnis (keturunan) Yaman dan Arab dsb, memilih kewarganegaraan Indonesia (Pribumi). Apalagi etnis ini yang paling besar jasanya dalam hal: (1) membawa peradaban umat manusia, dengan masuknya agama Islam di Nusantara, dan (2) berjasa berjuang secara pisik, jasa, dan materi dalam perjuangan kemerdekaan NKRI, (3) berhasil membakar semangat juang dan jihad nasionalisme bagi rakyat Indonesia.
Orang Tionghoa-Indonesia yang lebih dikenal dengan sebutan “non pribumi” adalah salah sebuah etnis masyarakat di Indonesia yang asal-usul leluhur mereka berasal dari Tiongkok. Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk.
Catatan-catatan dari Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.
Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok Mengenai Soal Dwikewarganegaraan atau lebih dikenal sebagai Perjanjian Kewarganegaraan Ganda Tiongkok-Indonesia, dulu adalah sebuah perjanjian bilateral antara Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Indonesia yang mewajibkan orang Tionghoa Indonesia berkewarganegaraan ganda untuk memilih hanya satu kewarganegaraan.
Perjanjian ini diteken oleh Zhou Enlai, Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Tiongkok, dan Sunario, Menteri Luar Negeri Indonesia, pada tanggal 22 April 1955 selama Konferensi Asia Afrika di Bandung.
Pasca diratifikasi oleh kedua negara, perjajian ini pun mulai berlaku pada tanggal 20 Januari 1960 setelah dilakukan pertukaran dokumen ratifikasi di Beijing. Dwi Kewarganegaraan, atau bisa disebut juga Kewarganegaraan Ganda (bipatride) merupakan kondisi dimana seseorang memiliki status kewarganegaraan yang sah secara hukum di dua negara atau lebih.
(https://hukkel.com).
Di Indonesia, kewarganegaraan ganda hanya terbatas pada anak hasil perkawinan campuran antara Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA). Hal ini diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.
Saat ini elite politik memiliki ikatan yang kuat melalui afiliasi partai (koalisi), terutama dalam lembaga pemerintahan. Hal ini untuk menciptakan jaringan pertemanan (koalisi) di lingkungan birokrasi dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah.
Yang termasuk dalam kelompok koalisi pemerintahan, yaitu kelompok investor/pengusaha, penguasa, dan pimpinan parpol yang tergabung dalam kelompok yang mengendalikan kekuasaan (Oligarki).
Dalam istilah yang sederhana, “politik dagang sapi” adalah praktik politik transaksional, di mana kekuasaan dibagi dan ditukar dalam bentuk transaksi kepentingan kelompok. Dimana partai politik atau elit parpol memberikan dukungan kepada calon presiden tertentu dalam pemilihan umum sebagai imbalan atas manfaat atau keuntungan yang mereka terima.
Politik dagang sapi biasanya terjadi jika ada pihak ketiga yang berkepentingan dalam sistem pemerintahan suatu negara. Dan kepentingan tersebut terkait strategi dagang pemilik modal (kapitalis) untuk menguasai ekonomi dan sumber daya alam (SDA) suatu negara, apalagi berkaitan dengan era globalisasi ekonomi (perdagangan bebas).
Perdagangan bebas dapat berdampak positif, seperti:
(1) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi, (2) Meningkatkan efisiensi dan inovasi, (3) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat, (4) Membuka peluang investasi asing, (5) Meningkatkan ekspor, (6) Menciptakan lapangan kerja baru.
Namun, perdagangan bebas juga dapat berdampak negatif dan mengancam industri lokal. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan antisipasi untuk proteksi agar tidak menjadi ancaman bagi industri lokal.
Bangsa Indonesia kaya raya Sumber daya alamnya (SDA), sehingga menjadi rebutan bagi bangsa-bangsa (Kaum) kapitalis atau pemilik modal (investor). Sedangkan norma agama khususnya Islam mengharamkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Makanya ulama di Indonesia harus dilemahkan dan diadu domba karena mereka mampu mempersatukan dan membakar semangat jihad nasionalisme bagi penduduk asli, dan hal itu adalah ancaman bagi kaum kapitalis.
Maka strategi yang paling ampuh ditempuh oleh kaum kapitalis guna menguasai SDA bangsa Indonesia, adalah politik adu domba atau pecah belah lalu kuasai.
Sebagai negara yang beragam dan rentan akan perpecahan, persatuan dan kesatuan menjadi senjata paling ampuh bagi bangsa Indonesia untuk menjaga dan mempertahankan keberagaman tersebut. Persatuan dapat diartikan sebagai gabungan dari beberapa bagian menjadi sesuatu yang utuh. Sementara, kesatuan adalah hasil dari gabungan tersebut.
Dengan demikian, persatuan dan kesatuan adalah perpaduan berbagai macam corak menjadi satu kesatuan yang utuh dan serasi.
Mengutip buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Kelas XI terbitan Kemendikbud, setidaknya ada tiga faktor utama yang mendorong persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, yaitu; (a) Sumpah Pemuda, (b) Pancasila, dan (c) semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Ketiga pilar tersebut dapat mempersatukan perbedaan dan keanekaragaman yang mewarnai kehidupan bangsa Indonesia, dan menjadi pilar persatuan dan kesatuan bangsa. Karena segala perbedaan yang ada dapat dipersatukan dengan menjalankan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya.
Oleh karena itu para politikus seharusnya berpegang teguh pada tiga pilar persatuan dan kesatuan bangsa tersebut, agar nasionalisme pribumi tidak dirobohkan oleh politik dagang sapi.
Makassar, 19 Oktober 2024.
)* Pemerhati Politik & Pendidikan