Kasus SYL dan Putusan Hakim Tidak Sesuai Ekspektasi Publik

Oleh: Achmad Ramli Karim

Pemerhati Politik & Pendidikan

Bacaan Lainnya

Kasus pemerasan oleh Mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) dituntaskan dengan vonis 10 tahun penjara. Sementara itu, mantan Direktur Kementan Muhammad Hatta dan Sekjen Kementan nonaktif Kasdi Subagyono masing-masing diganjar 4 tahun penjara. “Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Syahrul Yasin Limpo berupa pidana penjara selama 10 tahun,” kata ketua majelis hakim Rianto Adam Pontoh saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Kamis (11/7/2024).

Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis terhadap Syahrul Yasin Limpo dengan pidana penjara 10 tahun dan denda Rp 300 juta subsider 4 bulan kurungan. Selain itu, majelis hakim juga meminta Syahrul membayar uang pengganti sebesar Rp 14.147.144.786 dan 30.000 dollar AS. Sementara Muhammad Hatta dan Kasdi Subagyono masing-masing divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan.

Keputusan hakim atas ini berbeda dengan tuntutan yang diberikan. Sebelumnya, atas praktik pemerasan yang dilakukan oleh SYL kepada bawahannya, mantan menteri pertanian itu dituntut 12 tahun penjara. Sementara Subagyono dan Hatta dituntut 6 tahun penjara.

Terkait putusan hakim tersebut diatas khususnya pada kasus pemerasan yang diancamkan pada Mantan Menteri Pertanian (SYL), melenceng jauh dari harapan masyarakat (ekspestasi publik) khususnya masyarakat Indonesia Timur. Karena kasus ini adalah kasus pemerasan terhadap bawahan bukan murni tindak pidana korupsi yang merugikan negara. Ekspektasi publik SYL kemungkinan dihukum maksimal 5 tahun, ternyata publik merasa kecewa disebabkan terjadinya kesenjangan antara sanksi dengan berat tindak pidananya. Dimana SYL bersama keluarganya menanggung sanksi sosial akibat dipermalukan dan dihancurkan harkat dan martabatnya, melalui pemberitaan berbagai media.

Dan jika dibandingkan dengan vonis yang pernah dijatuhkan kepada koruptor kelas kakap yang nyata-nyata merugikan negara sampai puluhan Trilyun rupiah, tidak sebanding karena SYL mendapatkan saksi sosial dan pidana yang jauh lebih berat . Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

Ekspektasi adalah pandangan atau harapan positif yang kita miliki, sebelum suatu peristiwa atau situasi terjadi. Namun, realita adalah apa yang benar-benar terjadi (fakta) di dunia nyata, di mana tidak selalu sesuai dengan ekspektasi kita.

Jika diamati mulai awal bergulirnya kasus SYL kemudian dikaitkan proses persidangan di PN yang banyak melibatkan liputan media baik media cetak, elektronik, maupun media online, Publik menduga ada unsur politik didalamnya dan bukan murni tindak pidana. Karena sangat nampak adanya unsur serangan yang dapat menghancurkan reputasi dan kredibilitas terpidana. Bahkan sampai menyerang harkat dan martabat keluarga terpidana tersebut melalui berbagai media, yang sepertinya dilakukan untuk menyerang lawan politik dengan melakukan kampanye hitam atau black campaign.

Black Campaign & Pembunuhan Carackter

Black campaign merupakan model kampanye dengan cara membuat suatu isu atau gosip yang ditujukan kepada pihak lawan, tanpa didukung fakta atau bukti yang jelas (fitnah).

Kampanye hitam merupakan ancaman serius bagi proses demokrasi yang sehat dan integritas pemilihan umum. Beberapa dampak negatif dari kampanye hitam antara lain: Kampanye hitam dapat merusak reputasi kandidat atau partai politik tanpa dasar yang kuat, mengganggu proses kompetisi yang fair.

Pembunuhan karakter ( CA ) adalah upaya yang disengaja dan berkelanjutan untuk merusak reputasi atau kredibilitas seseorang. Ungkapan “pembunuhan karakter” mulai populer sekitar tahun 1930.

Sedangkan black campaign atau kampanye hitam adalah sebuah upaya untuk merusak atau mempertanyakan reputasi seseorang, dengan mengeluarkan propaganda negatif. Hal ini dapat diterapkan kepada perorangan atau kelompok. Target-target umumnya adalah para jabatan publik, politikus, kandidat politik, aktivis dan mantan suami.

Wilayah selatan Sul-Sel banyak melahirkan tokoh-tokoh pejuang bahkan pahlawan nasional, seperti Sultan Hasanuddin, Syekh Yusuf, Krg. Galesong dll. Begitu juga Prof. Riyas Rasyid yang melahirkan otonomi daerah. Sedangkan SYL termasuk tokoh politik yang banyak mendapatkan pujian selama diberi amanah, mulai Camat, Sekda, Bupati, Wagub, & Gubernur Prov. Sul-Sel. Masihkah akan muncul tokoh-tokoh yang patriot dan berintegritas dari selatan Sul-Sel ?.

Adanya dugaan publik sebagai upaya menghabisi dan mengubur karir politik dinasti SYL sepertinya akan berhasil, apalagi menjelang Pilkada serentak 2024. Dan ini bisa diduga sebagai strategi pembunuhan karakter keluarga SYL dan black campaing terhadap diri dan keluarganya. Apalagi jika dibandingkan salah seorang Menteri Kabinet dari partai yang sama sebelumnya, yang terlibat penyalahgunaan wewenang. Semoga tidak terputus lahirnya tokoh-tokoh pejuang (pahlawan) dari wilayah selatan Sul-Sel.

Banyak pejabat publik dan Ketua Partai yang jauh lebih besar korupsinya, bahkan dugaan pengangkatan pejabat dari anggota partai pada jabatan BUMN yang dapat diduga sebagai ATM berjalan namun tidak dibidik oleh KPK. Kenapa ?

Karena mereka berada dalam lingkaran kekuasaan dan tidak berseberangan dengan penguasa. Apa hal itu bukan bukti dugaan pemberlakuan hukum tebang pilih?. Andaikan KPK tidak menggambarkan dugaan strategi tebang pilih, maka dugaan black campaign seperti ini tidak akan muncul.

Apakah akal menerima alasan, kalau aparat tidak mampu melacak oknum Masikun serta otak dibalik kasus Vina Cirebon ?. Yakinlah aparat sangat profesional dan bisa menyelesaikan kasus-kasus tersebut dan menangkap pelakunya. Yang jadi masalah jika kasus-kasus itu, melibatkan atasan atau pejabat publik setingkat Jenderal.

Makassar, 12 Juli 2024

Pos terkait