Fir’aun

By Usman Lonta

Seperti yang saya tuliskan dalam mengakhiri tulisan sebelumnya bahwa ruang untuk menulis kisah fir’aun dengan berbagai perspektif tidak cukup untuk tulisan sebelumnya.

Oleh karena itu tulisan hari ini akan mengupasnya dengan referensi yang tertuang dalam beberapa ayat dan surah dalam alquran.

Fir’aun adalah simbol penguasa yang zalim yang pernah ada dalam bentangan sejarah peradaban umat manusia. Kekuasaannya diopang oleh empat pilar utama yaitu qarun, hammam, bal’am dan tukang nujumnya.

Qarun adalah konglomerat dari kaum bani Israil, umatnya nabi Musa AS. Dia adalah sosok orang kaya yang sombong, lupa diri, angkuh, seolah olah hartanya akan mengekalkan kehidupannya.

Hammam adalah sosok teknorasi yang sangat mengandalkan kemampuannya untuk melaksanakan rencana pwmbangunan yang sangat diimpikan oleh pihak penguasa.

Kemampuan professionalnya membuat dia tinggi hati angkuh dan menganggap bahwa kemampuannya melebihi kekuasaan tuhan.
Bal’am adalah ulama, cendikiawan yang sangat sohor, dia juga dari kalangan bani israil Yang melakukan perlawanan terhadap nabi Musa AS.

Terakhir tukang nujum, tukang ini berfungsi untuk memprediksi kondisi bangsa mesir dan hasil prediksinya selalu menjadi acuan kesewenang wenangan raja fir’aun. Kisah tersebut bertebaran di bebera ayat dalam alqur’an.

Kisah-kisah ini diharapkan menjadi ibrah atau pelajaran bagi generasi betikutnya.
Fir’aun adalah sosok raja yang sangat zalim, beliau secara berkala mengumpulkan tukang nujumnya untuk memprediksi stabilitas kepemimpinannya.

Dan suatu ketika tukang nujumnya mengataksn bahwa akan lahir seorang laki laki yang akan mengungcang kekuasaan fir’aun.

Berdasarkan informasi dari tukang nujum ini, fir’aun mengumpulkan bala tentaranya untuk mencari bayi laki laki kemudian menyembelihnya.

Salah satu bayi Yang selamat adalah nabi Musa As. Beliau di hanyutkan oleh ibunya, disaat terjadi bajir bandang, dan atas dkenario Allah yang maha kuasa bayi nabi Musa As terdampar dihalaman istana raja fir’aun.

Isteri fir’aun yang tidak mempunyai anak, sangat tertarik dengan sosok bayi Ini kemudian atas kesepakatan fir’aun diadopsilah menjadi anak angkat.

Kekuatan atau pilar utama kekuasaan fir’aun adalah kolaborasi antara fir’aun (presiden), Qarun (pemilik modal), Hammam (teknokrat), Bal’am (ulama), serta tukang nujum (tukang ramal).

Di zaman Rasulullah Muhammad Saw, kepemimpinannya juga ditopang oleh pemilik modal yaitu Ustman bin Affan, Teknokrat, Umar Bin Khattab, sosok ulama Abu Bakar, serta Ali bin Abi Thalib sebagai generasi muda yang sangat cemerlang.

Perbedaannya jika kekuasaan fir’aun mengendalikan manusia secara sadis, menguasai sumber sumber ekonomi hanya beredar pada poros kolega kekuasaan, harkat dan martabat manusia tidak diakui, maraknya perbudakan serta aksi yang tidak berperikemanusiaan lainnya tumbuh subur diera kepemimpinan raja fir’aun.

Maka di zaman Rasulullah Muhammad saw, tumbuh hal yang sebaliknya, pembebasan perbudakan, kebebasan beragama, keadilan, distribusi harta rampasan perang, penghargaan terhadap kaum perempuan dan anak, dan lain lain.

Semua ini dapat ditemukan jejaknya dalam kontitusi Madinah yang lazim disebut piagam madinah, konstitusi modern yang banyak diadopsi oleh negara negara didunia ini.

Di zaman fir’aun ada nabi Musa sebagai kekuatan oposisi yang sangat dahsyat, menegur fir’aun atas perbuatan sewenang wenang yang dilakukannya selama memerintah, yang dalam bahasa alquran perbuatan melampaui batas.

Yang menarik dikaji atau bahkan dirumuskan dakam bentuk aksi adalah apa yang menjadi kekuatan nabi Musa sehingga mampu memporak porandakan kekuatan fir’aun? Apakah semata mata karena kekuatan tongkat yang dimilikinya?

Atau kekuatan dari langit yang tiba tiba datang tanpa usaha dari nabi Musa? Pertanyaan pertanyaan ini masih membebani pikiran saya setiap membaca kisah nabi Musa dan fir’aun.

Diskursus ini pasti terjebak pada dua paham teologis : jabariah dan qadariah. Supaya tidak terjebak pada dua kutub paham teologi tersebut saya mencoba menganalisis bahwa kekuaran nabi musa selain mu’jizat, beliau mampu mengorganisir dan menggerakkan kaumnya yang berstatus rakyat jelata yang ditindas, diperbudak oleh fir’aun untuk melakukan perlawanan.

Kekuatan ke dua adalah saudaranya bernama Harun yang menemani dan mensupport perjuangan pembebasan bagi kaum bani israil.

Kekuatan ke tiga adalah kesungguhan dan keikhlasannya untuk menjadi pembela terhadap kaum yang tertindas, bukan untuk memperoleh nobel, penghargaan bahkan menjadi pahlawan.

Kisah kisah di atas beserta tentu kisah kisah lain yang ada dalam semua kitab suci, tentu tidak berakhir sebatas bacaan, tetapi seharusnya menjadi bahan yang selalu melahirkan tafsir baru, jika diperlukan ditingkatkan penasirannya secara pardigmatif untuk menyusun agenda aksi seperti yang ditulis oleh kuntowijoyo dalam bukunya Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi.

Gagasan ini sangat cemerlang untuk menghasilkan sosok pemimpin yang ideal dimasa mendatang.

Wallahu a’lam bishshwab
Jakarta 2 April 2024

Pos terkait