Penulis by Dahlan Sapa
Belakangan ini, hambar rasanya jika ngopinya hanya di kamar kos atau di rumah, serasa tak mendapatkan fantasinya. Kebanyakan dari kita lebih memilih janjian bersama teman lalu ngopi di luar. Dan Warung Kopi adalah pilihan.
Warung kopi adalah ruang publik, dimana kebebasan untuk berbicara dan menuangkan pikiran tak ada larangan. Di situ kita tidak akan dibubarkan oleh polisi atau security kampus. Kritiklah sesukamu, berbicaralah sesukamu, selagi tak ada delik yang terlanggar.
Mereka yang tahu persis. Rasanya tak pantas kita memberi justifikasi berlebihan, terkadang selentingan muncul bernada sinis kepada para pemantik obrolan politik di warung kopi. “Hanya buang-buang waktu, cerita kumpau” begitu kira-kira menurut si paling tahu politik.
Saya meyakini, apa yang menjadi obrolan di warung kopi, sudah pasti sampai ke telinga elit politik. Sekecil apapun isu di akar rumput, patut menjadi pertimbangan. Lazimnya ketika partai politik masih meramu pasangan pilpres di Pemilu,tentu memerlukan tanggapan langsung dari khalayak.
Bongkar pasang nama akan dihitung peluang elektabilitasnya, termasuk peluang mengungguli lawan politiknya. Panjang umur perbincangan politik di warung kopi, betah duduk berjam-jam dengan modal satu gelas kopi pekat. Tidak merugikan siapapun, jadi biarkan saja mereka bercengkrama dengan gaya mereka.
Budaya membahas politik di Warung Kopi, membuat akhir-akhir ini sangat sering kita jumpai caleg-caleg dengan rombongannya di Warung Kopi. Sebenarnya bukan karena hanya ingin ngopi, disisi lain caleg ingin mengeluarkan gagasannya dan berinteraksi dari berbagai karakter yang sedang menikmati kopi, sembari berharap mendapat simpati dari pengunjung.
Untungnya, sejauh ini belum pernah kita dapatkan perkelahian di Warung Kopi karena pembahasan politik, perdebatan mungkin banyak. Itu artinya, memang Warung Kopi adalah ruang dimana publik bisa mendengarkan, bahkan ikut terlibat secara aktif tanpa ragu dalam mengeluarkan pendapat.
Tidak jarang juga, para politisi akhirnya menjadikan Warung Kopi sebagai tempat mereka berkampanye, melakukan lobi-lobi politik, bahkan menemui konstituen tanpa ada rasa takut. Seolah Warung Kopi adalah tempat bagi orang yang menginginkan kebebasan.
Tak hanya caleg, capres dan cawapres pun tak luput dari politik Warung Kopi. Setelah Cawapres Anis Baswedan menemui tim relawannya di Kafe Inbon Pontianak guna berdialog tentang konstalasi politik yang ada di Kalbar. Tiga bulan berikutnya giliran Capres Petahana Joko Widodo, yang menggelar pertemuan di warkop lain, yang bertajuk ngobrol pintar bersama para pendukungnya.
Macam-macam pembicaraan pun bisa terjadi di Warung Kopi, dari yang paling umum sampai ke daerah privatpun bisa dibuka luas dan dibahas secara gamblang. Karena tempat menawarkan kebebasan, dosa pun tak jadi masalah.
Realitas hari ini, rata-rata pengunjung Warung Kopi seolah tidak lagi candu pada kopinya, melainkan terpanggil karena diskusinya. Warung Kopi telah dijadikan sebagai media komunikasi politik oleh pengunjung, tim relawan, caleg, sampai capres.
Semakin banyak Warung Kopi yang berdiri, semakin mewabah pula ruang-ruang publik yang menawarkan kebebasan. Karena di Warung Kopi ide-ide cemerlang tertuang tanpa ada intervensi, dan hanya di Warung Kopi perdebatan tanpa pertikaian terjadi.
Jika kebebasan berfikir dan berpendapat sudah sulit didapatkan diruang-ruang kuliah akibat birokrasi yang sudah membatasi ruang gerak mahasiswa, maka tak salah jika Warung Kopi jadi tempat menuangkan pikiran dan pendapat sebagai kampus ke-dua.
“Andai benar politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, maka membahasnya bersama di Warung Kopi sepertinya seru kawan”, tutur Dahlan Sapa.
Kalbar, 22 Januari 2024
*) Pimpinan Redaksi, media Saksi Hukum Indonesia.com.
.