Penulis : Moh Ramli
PEMILU 2024 tinggal menghitung hari. Tepatnya pada 14 Februari. Salah satunya masyarakat Indonesia akan melakukan pencoblosan presiden dan wakil presiden periode 2024-2029.
Masyarakat disuguhi tiga capres dan cawapres. Mereka adalah Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Lalu Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.
Momentum ini begitu penting. Ini adalah bagaimana menentukan nasib Indonesia ke depannya. Menentukan arah jalan positif atau negatif negeri tercinta kita. Menentukan nasib rakyat dan para generasinya. Oleh karenanya, masyarakat harus benar-benar selektif dalam menentukan pilihannya.
Bagi saya sendiri, memilih pemimpin terbaik adalah salah satu cara saya ber-terima kasih kepada para pejuang kemerdekaan Indonesia. Bahwa perjuangan dan pengabdian mereka harus diteruskan. Agar cita-cita suci negeri ini bisa tercapai.
Memilih pemimpin terbaik adalah salah satu ikhtiar saya, bahwa Negara Khatulistiwa ini tak terjarah oleh mereka yang hanya haus kekuasaan dan menguntungkan kroni-kroninya semata. Mengambil suara rakyat dengan cara murah. Merayu dengan membagikan sembako, kaos dan uang Rp 50 ribu saja. Setelah terpilih, mereka melumat semua hak masyarakat demi perutnya sendiri.
Rasionalitas dan Hati Nurani
Hemat saya, ada dua hal urgent yang perlu dilalui dalam proses seleksi memilih pemimpin terbaik untuk Indonesia tersebut. Pertama, memilih dengan rasionalitas.
Saya percaya, manusia memiliki daya rasio yang begitu tajam. Daya rasio itu adalah bentuk memperbandingkan antara sosok satu dengan sosok lainnya. Dengan begitu, pilihan kita tak sekedar hanya “membebek” dengan orang atau pihak lain.
Dengan rasionalitas yang kita miliki, kita bisa membandingkan sosok pemimpin yang autentik atau hanya sekedar kosmetik belaka. Dengan rasionalitas, kita bisa terbuka melihat sosok pemimpin mana yang mampu berinteraksi positif dengan rakyatnya. Menyatu secara emosional dengan mereka yang akan dipimpinnya.
Dengan rasionalitas, kita bisa melihat rekam jejak mereka secara jernih. Apa karya-karya mereka. Apa legacy mereka. Dengan rasionalitas pula, kita bisa melihat sejarah mereka di masa lalu. Salah satu yang penting antara lain soal integritas mereka dalam hal ini korupsi. Lalu soal pelanggaran HAM. Tak kalah penting juga soal etika dan moralitas mereka dalam berwarga negara.
Bagaimana mendeteksi hal tersebut? Salah satu caranya adalah melakukan riset sederhana. Antara lain membuka lebar-lebar akal sehat kita, dan mulai membaca banyak referensi. Dengan begitu, kita pun menjadi rakyat yang kritis. Membaca memang hal yang amat berat. Apalagi di negeri yang literasinya sangat rendah. Tetapi itulah ikhtiar kita untuk mendapatkan pemimpin berkualitas.
Namun, untuk mendapatkan daya rasionalitas tersebut, kita perlu membuang jauh fanatisme. Ya, jangan menjadi pendukung yang fanatik. Karena itu sangat bahaya.
Pendukung fanatik ini jelas, ia yang tak mau percaya pada fakta-fakta. Diberikan seribu fakta pun pendukung fanatik ini tak akan pernah mau mendengar dan percaya. Karena sebab pikirannya dikuasai oleh irasionalitas. Menjadi pendukung fanatik artinya: ia sudah mematikan daya kritisnya.
“Demokrasi berada di ujung kematian saat warganya tak mampu lagi berpikir rasional dan terjatuh pada kultus personal. Kerisauan inilah yang terjadi pada kualitas kepemimpinan tiran Jawa yang gemar berbohong sepanjang waktu sehingga pikiran rakyatnya tumpul dan perasaan, bukan kebenaran, yang menjadi penentu dalam urusan politik.”
Demikian pandangan lulusan doktor dari Harvard University, sekaligus intelektual muda Muhammadiyah, Sukidi dalam tulisannya berjudul: Tiran Jawa (Tempo: 2024).
Kedua, selain memilih dengan rasionalitas, kita bisa memilih pemimpin Indonesia dengan hati nurani. Ya, hati nurani adalah suatu proses kolaborasi antara kognitif dan pandangan moral kemanusiaan. Proses ini penting, karena hati nurani tidak akan bisa berbohong meski lisan berkata lain.
Setiap kita yang tidak memilih dengan hati nurani, selain berbohong kepada diri sendiri, ia juga dipastikan batinnya tersiksa karena melawan kebenaran itu sendiri.
Kawan, bila dalam memilih pemimpin Indonesia tersebut kita melewati proses rasionalitas dan hari nurani, kalah pun nanti kita tak kecewa. Karena yang kita dukung adalah sosok yang tepat. Kalah pun kita akan tetap mengapresiasi diri sendiri, bahwa kita sudah di jalan pengabdian yang benar untuk negeri tercinta kita. Bahwa kita masih menjadi rakyat yang waras, merdeka dan tak bisa dikendalikan oleh siapapun.
Kelak, pertanggungjawaban dihadapan Tuhan pun kita mampu dan bersaksi dengan sebenarnya. Bahwa yang kita pilih adalah sosok pemimpin betul-betul sesuai dengan cita-cita harapan kemanusiaan kita sendiri.
Tak kalah lebih penting, biar pun kalah dalam pesta demokrasi lima tahunan nanti, kita akan leluasa bercerita kepada anak kita, keluarga kita, generasi kita, bahwa disuatu masa yang sudah dilewati, kita pernah berada dibarisan orang-orang yang tidak mengadaikan kehormatan diri dan hati nurani.
Akhirnya, saya ingin menutup tulisan ini dengan menyampaikan bahwa, ini saatnya kita melakukan hal terbaik untuk diri kita sendiri. Untuk negara kita sendiri. Negara yang buminya terus kita keruk untuk memenuhi hasrat makan dan minum tubuh kita. Negara yang akan menjadi pelindung kita hingga hari tua. Dan negara yang tanahnya suatu saat nanti akan menyatu dengan jiwa dan raga kita.
Penulis : Kolumnis, Lulusan Magister Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA
Komunitas Da’wah Istiqomah Surabaya
,