Oleh: Hersubeno Arief, Pengamat Politik.
Apapun dan bagaimanapun caranya, berapapun biayanya, Anies Baswedan tidak boleh dan jangan sampai jadi Presiden.
Alasannya cukup banyak. Mulai dari idiologis, politis dan tentu saja yang paling penting dari aspek bisnis.
Agenda terselubung itu sebenarnya sudah banyak yang tahu. Ada juga yang sekedar menduga-duga. Namun dugaan-dugaan itu mendapat pembenaran setelah Partai Solidaritas Indonesia (PSI) buka kartu.
_*Mereka mengajak parpol dan masyarakat untuk menjegal —begitu media menyebutnya— Anies Baswedan. Jangan sampai pada Tahun 2024 jadi presiden!*_
Anies gagal menjadi Presiden Indonesia adalah harga mati. Tak ada tawar menawar.
“Saya ingin mengajak teman-teman partai, maupun masyarakat yang masih pro dengan nasionalisme kita, saya kira harus ada barisan nasional yang secara serius mengadang figur yang terfokus isu populisme ini,” kata Sekjen PSI Raja Juli Antoni dalam jumpa pers Indo Barometer di Hotel Atlet Century, Jakarta, Minggu (23/2).
Clear sudah, terang benderang mengapa selama ini beberapa parpol, khususnya PSI, PDIP dan buzzer pendukung pemerintah habis-habisan mem-bully Anies. Ini urusannya berkaitan dengan Pilpres 2024.
Tidak ada urusannya dengan kinerja, prestasi dan berbagai penghargaan internasional yang sudah diraih Anies.
Mau Anies kerja benar seperti apapun. Mau Anies mendapat penghargaan dari dunia, termasuk penghargaan dari akhirat sekalipun, tidak ada urusannya.
Mereka akan terus mem-bully. Hajar habissss……..
Mau ada skandal Jiwasraya, penggelapan dana Asabri triliunan rupiah, kenaikan iuran BPJS Kesehatan, utang BUMN dan utang negara membengkak, mereka akan tutup mata. Abaikan. Alihkan isunya.
Fokus cari kesalahan Anies Baswedan! Kecilkan keberhasilan Anies memimpin Jakarta. Hilangkan beritanya dari media agar masyarakat tidak mengetahuinya.
Kalau ada kesalahan Anies, besar-besarkan kesalahannya. Ramaikan di media sosial dan media konvensional. Kerahkan buzzer habis-habisan. Pastikan infonya menyebar di masyarakat.
_*Bila tidak bisa ditemukan kesalahannya, cari terus sampai ketemu. Kalau tidak juga ketemu, bikin kesalahannya.*_
“Tugas utama” semacam itu lah yang menjelaskan mengapa tiada hari tanpa bully atas Anies.
Mereka mendapat momentum dengan datangnya musim hujan tahun ini. Kebetulan pula curah hujannya sangat ekstrem.
Pasukan pem-bully ini tutup mata bahwa berdasarkan data BMKG curah hujan tahun ini paling ekstrem dalam 150 tahun terakhir.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat curah hujan ekstrem dengan intensitas lebih dari 150 mm/hari dengan durasi panjang dari Selasa (31/12/2019) sore hingga Rabu (1/1/2020) yang turun cukup merata di wilayah DKI Jakarta menyebabkan banjir besar.
Curah hujan tertinggi tercatat di Bandara Halim Perdana Kusuma yaitu 377 mm/hari, di TMII: 335 mm/hari, Kembangan: 265 mm/hari; Pulo Gadung: 260 mm/hari, Jatiasih: 260 mm/hari, Cikeas: 246 mm/hari, dan di Tomang: 226 mm/hari.
Data-data itu buat mereka tidak penting. Fokus pada fakta bahwa Jakarta terendam banjir. Abaikan data dan fakta lainnya.
Abaikan juga fakta bahwa daerah lain di Jawa, termasuk di Bekasi yang notabene berada di Provinsi Jawa Barat juga banjir gila-gilaan.
Tugas utama mereka adalah mengabarkan kepada publik sak-Indonesia bahwa Jakarta kebanjiran terus selama Anies jadi gubernur.
_*Anggota Fraksi PSI dan PDIP di DPRD DKI beramai-ramai menyanyikan koor “Anies tidak becus memimpin Jakarta.”*_
Tak perlu kaget bila di sejumlah media muncul judul berita “Jakarta Dikepung Banjir.” Foto-foto lama banjir Jakarta juga bermunculan kembali.
Buat survei yang menyebutkan elektabilitas Anies tiba-tiba melorot karena gagal menangani banjir!
Tak punya calon
Mengapa mereka begitu khawatir Anies akan menjadi presiden? Padahal perhelatan Pilpres 2024 masih cukup lama.
Alasannya cukup jelas. Sampai sejauh ini mereka belum punya calon yang cukup kuat untuk menandingi popularitas dan elektabilitas Anies.
Tak perlu kaget kalau sekarang Prabowo didorong-dorong menjadi lawan Anies. Muncul survei bahwa keduanya merupakan kandidat paling kuat dan akan bersaing pada Pilpres 2024. Mereka coba diadu domba.
Jadi ngeh kan sekarang mengapa beberapa waktu lalu muncul wacana agar Jokowi bisa menjabat sampai tiga periode.
Anies adalah ancaman yang membahayakan estabilisme penguasa dan para pendukungnya. Apalagi sebagai Gubernur DKI Anies sangat berprestasi.
Gagasannya memperbaiki kota Jakarta sangat inovatif. Sesuai dengan motto kampanyenya bersama Sandiaga Uno : Maju Kotanya, Bahagia Warganya!
_*Dalam waktu dua tahun terakhir DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Anies telah meraih 40 penghargaan, termasuk beberapa penghargaan internasional dan dunia.*_
Sebagai Gubernur pada tahun 2019 Anies terpilih sebagai gubernur terbaik versi Majalah Warta Ekonomi dan Rakyat Merdeka.
Andai saja Anies tidak berprestasi, atau setidaknya prestasinya biasa-biasa saja, dijamin dia tidak akan ada yang mengusik. Toh tidak akan ada orang yang akan meliriknya. Aman.
Setidaknya ada tiga alasan besar mengapa mereka bekerja keras memastikan Anies jangan sampai jadi presiden.
Pertama, alasan idiologis.
Alasan ini merupakan residu dari Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019. Anies diposisikan sebagai figur yang dekat dengan kalangan Islam.
Kelompok Islam lah yang menjadi biang gagalnya Ahok menjadi Gubernur DKI. Kelompok Islam perkotaan lah yang menjadi lawan berat Jokowi pada pilpres lalu.
Karenanya Islam dalam beberapa tahun terakhir sangat terkesan dimusuhi dan muncul berbagai stigma radikal. Kegaduhan yang diciptakan oleh ucapan Menag, dan pernyataan-pernyataan kepala BPIP menjadi indikator yang sangat jelas.
“Pemerintah saat ini mengalami Islamophobia,” kata Putri Proklamator Rachmawati Soekarnoputri.
Kedua, alasan politis.
Anies saat ini diposisikan berada dalam kubu berseberangan dengan pemerintah. Posisinya pada Pilpres 2019 lalu mempertegas hal itu.
_*Bagi PSI selain musuh idiologis, Anies juga musuh politis. Sementara bagi PDIP kehadiran Anies Baswedan bisa memupuskan ambisi mereka untuk terus menguasai Indonesia, pasca Jokowi.*_
Ketiga, alasan ekonomis.
Anies adalah musuh berbahaya bagi kelompok oligarki yang dikendalikan oleh kelompok bisnis, khususnya taipan. Dia adalah musuh bebuyutan —meminjam istilah Ketua MPR Bambang Soesatyo—para cukong politik.
Tindakannya menghentikan proses reklamasi di Pantai Utara Jakarta sangat merugikan para taipan. Ribuan triliun keuntungan di depan mata, untuk sementara terpaksa mengendap di dasar lautan.
Perbedaan dalam soal reklamasi inilah menurut pengakuan Ahok kepada Tempo menjadi salah satu penyebab pecahnya kongsi dengan PSI. Padahal PSI semula didirikan untuk menjadi kendaraan politik Ahok.
Baru menjadi Gubernur DKI saja sudah sangat merugikan para taipan. Apalagi kalau sampai terpilih menjadi Gubernur Indonesia!
Sampai disini paham khan ?
*R@t@[email protected]*