Penulis oleh : Syarif Thatang
Setiap tahun, rakyat menaruh harapan besar pada anggaran daerah. Anggaran yang seharusnya menjadi darah segar pembangunan, sumber beasiswa, pupuk bagi petani, dan napas bagi masyarakat kecil.
Namun, di balik tumpukan dokumen dan laporan keuangan, ada kisah sunyi yang jarang terungkap: anggaran itu justru diendapkan.
Alasannya klise “dana belum turun”, “masih menunggu proses administrasi”, atau “belum ada petunjuk teknis”.
Padahal, faktanya, uang rakyat itu sudah lama mengendap di rekening bank yang ditunjuk oleh pemerintah daerah.
Ia tidak bergerak, tidak mengalir ke masyarakat, tetapi justru bertumbuh menjadi bunga dan bunga itu, konon, dinikmati oleh segelintir orang yang berkuasa.
Bayangkan, miliaran rupiah dana publik yang seharusnya membangun jalan, memperbaiki sekolah, dan membantu UMKM, justru menghasilkan keuntungan bagi “Tuan” atau “Nyonya” yang lihai memainkan celah administrasi.
Sementara rakyat menunggu dengan sabar, mereka memanen hasil dari uang yang bukan miliknya.
Fenomena ini bukan sekadar kelalaian birokrasi, tetapi pengkhianatan terhadap amanah rakyat.
Ketika dana publik dijadikan alat memperkaya diri, maka setiap bunga yang tumbuh dari uang rakyat adalah duri yang menusuk keadilan.
Rakyat berhak tahu ke mana uang mereka berlabuh.
Rakyat berhak menuntut agar setiap rupiah kembali pada tujuannya: kesejahteraan publik, bukan rekening pribadi.
Karena ketika dana publik diendapkan, pembangunan ikut mati dan yang hidup hanyalah keserakahan di balik meja kekuasaan.






