Universitas Gajah Mada ‘UGM’ Pecat Guru Besar Pelaku Pelecehan, Publik Desak Pencabutan Status ASN

YOGYAKARTA – pantau24jam.net. Sosok akademisi yang dulunya dipandang sebagai teladan intelektual kini harus mengakhiri kariernya dengan aib.

Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Edy Meiyanto (EM), resmi dipecat dari jabatannya setelah terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap sejumlah mahasiswi sepanjang 2023 hingga 2024.

Bacaan Lainnya

Professor EM bukanlah akademisi sembarangan. Gelar doktoralnya diraih di Nara Institute of Science and Technology (NAIST) Jepang, dengan reputasi kuat di bidang Onkologi Molekuler dan Kimia Farmasi.

Ia pernah menjabat di berbagai posisi strategis kampus, termasuk Wakil Dekan Fakultas Farmasi, Kepala Laboratorium Biokimia, hingga pengelola program studi.

Namun, semua prestasi itu runtuh setelah Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UGM mengungkap sederet pelanggaran etik dan hukum.

Dalam laporan resmi, setidaknya 15 mahasiswi melaporkan 33 insiden kekerasan seksual yang dilakukan oleh EM. Lokasi kejadian mencakup rumah pribadi pelaku hingga pusat riset tempat ia menjabat sebagai ketua.

“Kalau modusnya, kegiatannya itu dilakukan lebih banyak di rumah. Mulai dari diskusi bimbingan dokumen akademik, baik itu skripsi, thesis, dan disertasi,” ujar Sekretaris UGM Andi Sandi Antonius, Selasa (8/4).

Lebih memprihatinkan lagi, EM diduga memanfaatkan relasi kuasa sebagai dosen pembimbing untuk memanipulasi korban. Ini sesuai dengan karakteristik kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, seperti dijelaskan Komnas Perempuan dan dokumen kajian

“Laki-Laki, Maskulinitas dan Kekerasan Seksual” oleh Aditya Putra Kurniawan 2022 dalam laman satgasppks.ugm.ac.id:

Dosen kerap menggunakan pengaruh akademik untuk mendekati dan melecehkan mahasiswa, sering kali dalam situasi yang tampak ‘resmi’ seperti bimbingan.

Pelanggaran ini telah dijatuhi sanksi berat oleh UGM. Namun, status EM sebagai aparatur sipil negara (ASN) belum dicabut.

Pihak Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) menyatakan proses pencabutan tersebut masih berlangsung dan dapat memakan waktu tiga hingga enam bulan.

“Tentunya sangat memprihatinkan ketika perguruan tinggi sebagai garda terdepan nilai-nilai kemanusiaan masih ada oknum yang mencoret nilai-nilai tersebut,” kata Sekjen Kemendikti, Togar Simatupang.

Kasus ini menjadi bukti nyata bahwa kekerasan seksual bukan hanya permasalahan individu, melainkan juga sistemik. Seperti yang diungkap Komnas HAM, banyak lembaga pendidikan belum memiliki sistem penanganan efektif, bahkan cenderung melindungi pelaku demi nama baik institusi.

Kini, publik menanti langkah tegas lanjutan dari kementerian dan penegak hukum. Tak cukup dengan pemecatan, namun penanganan tuntas, pemberdayaan korban dan reformasi sistemik harus segera diwujudkan agar kampus tak lagi menjadi ladang impunitas para predator berseragam dosen.

(*)

 

Pos terkait