( Yusrizal Kamaruddin, Bang Yos)
Komunitas Penulis Kampung Sulsel
Seketika, selaksa rindu membuncah dari bumi Nangroe Aceh Darussalam.
Kerinduan untuk membuka kembali lembaran lembaran suci dari beragam kitab sejarah mereka…
Kerinduan untuk Mendengarkan pekik nurani terdalam putera puteri terbaik mereka di masa lalu akan eksistensinya…
Rindu untuk memandang hamparan jalan sepi dari sisa sisa jejak langkah heroik di sepanjang bumi Aceh yang membentang…
Sebuah kerinduan akan sebuah rasa yang masih tersimpan abadi di relung jiwa mereka…
Kerinduan yang menyesakkan dada karena bersamaan dengan hadirnya sebuah kabar dari Jakarta…
Empat pulau mereka telah diserahkan kepada adiknya sendiri…
Kerinduan ini nyaris berubah jadi prahara, seketika senandung antipati membahana di tanah rencong.
Sekejap, suara penolakan dari semua penjuru tanah Aceh bergema, taring para Wakil rakyat dari bumi Serambi Mekah dengan lugas menegaskan keberadaan keempat pulau tersebut adalah manifasto dari harga diri rakyat Aceh.
” Ketika Tanah Pusaka sudah dicaplok orang, maka sebuah pesan kepada semua pihak akan banyak pusara baru bermunculan, karena hidup pondasinya adalah harga diri, ” tegas mereka.
Pentolan mantan Laskar Gerakan Aceh Merdeka ( GAM) juga mulai bermunculan, baginya Keputusan Jakarta adalah sebuah sikap nyata akan pelanggaran terhadap perjanjian Helsinski, maka maklumat pun dikobarkan, ” Bendera Aceh akan kembali berkibar lepas di bumi Serambi Mekah “.
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf yang akrab disapa Mualem perlahan memberi sinyal kasmaran untuk Jakarta.
” Insyaa Allah, semuanya akan baik baik saja, kedamaian di Bumi Aceh adalah hal yang paling hakiki, pastinya kita persiapkan dua tiang bendera di semua kantor kantor untuk menyikapinya dengan sejuk, bercanda juga jangan berlebihan namun Keempat Pulau tersebut adalah wilayah teritorial Aceh,itu Hak kita, ” ungkap Alumni Universitas di Libya tersebut.
Sikap tegas dan bernas rakyat Aceh dangat jelas, kedatangan Bobby Nasution bertandang ke Aceh atas nama tawaran kerja sama dan mencari solusi terkait keputusan Jakarta dengan bernas ditolak.
Mualem, Sang Gubernur dengan bernas memukul knout Out Bobby Nasution. Dirinya ditinggalkan tepat di meja sidang, Mrnantu mantan Presiden Jokowi ini hanya dilayani oleh Sekda Propinsi bersama beberapa pejabat di Aceh.
Sebuah pesan diplomasi brilyyan kepada Sang Bobby ” kita beda level atau Kasta” kawan.
Kebijakan Jakarta dalam sepekan menjadi trending topik Nasional. Grafik media informasi di semua segmen dan ruang, persoalan pulau yakni Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang/Besar, dan Pulau Mangkir Ketek/Kecil menjadi berita paling utama.
Jadi Issue Paling Hot Nusantara
Akibatnya respon publik Nasional oleh banyak tokoh penting termasuk dua tokoh senior Republik masing masing Susilo Bambang Yudhoyono ( SBY) Mantan Presiden dan H. M Yusuf Kalla ( Mantan Wapres) pun terpaksa turun gunung.
Keduanya secara gamblang menegaskan persoalan kepemilikan keempat Pulau tersebut sudah selesai.
” Wilayah Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang/Besar, dan Pulau Mangkir Ketek/Kecil adalah milik Aceh dan dilandasi oleh regulasi bernama Undang Undang, ” Ungkap keduanya.
SBY dan JK mengungkapkan fakta sejarah dengan menyampaikan validitas data dengan gaya dan karakter diri masing masing.
SBY menyajikan validitas data dengan cara syarat makna lewat bukti realita masa lalu serta potensi dampak kebijakan pada sisi politik dan keamanan sedangkan Pak JK mengurai fakta dokumen sejarah dengan cara penuh makna. JK ungkap secara sederhana dan gamblang melalui pesan harga yang harus dibayar apabila diabaikan.
Mualem Lolos dalam Jebakan Skenario
Namun, kegaduhan makin berlanjut, Pemerintah Propinsi NAD diarahkan untuk mengambil langkah hukum apabila menolak.
” silahkan gugat di PTUN apabila tidak sepakat, proses keputusan tersebut diambil melewati proses panjang dan tepat, maka dipersilakan menggugat, ” ungkap Kementerian Dalam Negeri.
Hadirnya wajah asli Jakarta nampak dibaca dengan utuh Pemerintah lokal Aceh. Kembali lewat Mualem Sang Mantan Panglima Perang GAM menegaskan pihaknya akan menempuh cara cara bermartabat, lewat ungkapannya Sang Mantan Perang GAM sudah membaca arah skenario lebih dari panggung hukum keadilan Jakarta, dominan daerah harus pulang dengan tangan hampa.
Pernyataan pihak Jakarta akan sebuah ruang menggugat pada jalur regulasi nasional dipandang oleh pihak Aceh sebagai bagian dari domain permainan politik, kalah di langkah ini berarti berarti sebuah kegagalan besar dalam sejarah Aceh.
Terkait pernyataan Jakarta, Jumat 13 Juni 2025 bertempat di Restoran Pendopo Gubernur Aceh sebuah pertemuan penting digelar.
Selain Gubernur Aceh Muzakir Manaf, beberapa anggota DPR, DPD, DPR Aceh, Tengku Faizal Ali Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama, Syafriadi Malik Bupati Aceh Singkil dan tokoh lainnya membahas langkah dan sikap Aceh akan pandangan Jakarta.
Usai pertemuan, kepada media Mualem menegaskan keempat Pulau tersebut adalah Hak Aceh dan wajib untuk dipertahankan.
” Ada langkah lebih elegan yang akan dilakukan, diplomasi menjadi bingkainya dan untaian rasa cinta rakyat Aceh terhadap komitmen bersama dalam bingkai NKRI adalah ruhnya, ” ungkap Mualem.
Prabowo dan Mualem, Dua Mantan Panglima Perang Yang Kini Satu Perahu.
Dalam sebuah acara, Prabowo Subianto Presiden RI bercerita akan salah satu kisah perjalanan hidupnya.
Saya bersama Mualem ( Muzakir Manaf) kembali bertemu.
Kisah hidup kami berdua dalam sejarah dunia kemeliteran adalah untuk yang pertama kali.
” Dua mantan Panglima perang di lapangan kembali bertemu, saya dahulu adalah Komandan saat konflik Aceh dan Muzakir Manaf adalah Panglima GAM saat itu, oleh waktu kami kembali bersua dalam satu bendera dan berikrar bersama mempersembahkan yang terbaik untuk Republik, ” Urai Prabowo.
Dirinya menambahkan saat pertama kali bersua kembali, keduanya memilih diam dan sempat kikuk, ” pastinya kami dan kita semua adalah bersaudara, ” kunci Prabowo.
Kisah yang dituturkan seorang Kepala Negara adalah sebuah pesan khusus untuk kita semua untuk merawat jalinan kesatuan hati sebagai anak bangsa.
Warisan konflik Aceh telah mengajarkan kita sebuah sebuah kesadaran penuh akan begitu banyak kerugian materi, nalar dan jiwa bagi bangsa. Merawatnya menjadi hal yang wajib bagi semua anak bangsa karena sejarah perang selalu menyisakan penyesalan dan duka nestapa walaupun panji dan kibaran bendera kemenangan berkibar bebas di sebuah tiang tertinggi.
Sisi lain dari pesan Sang Kepala Negara adalah, memandang Propinsi Serambi Mekah memang harus dilihat dari sebuah kacamata hati, ketulusan dan komunikasi bening tanpa intrik harus selalu menjadi landasan.
Dan, dari berbagai literasi sejarah yang kemudian kini banyak berseliweran di jagat informasi, jejak panjang nafas kehidupan para rakyat Aceh selalu menyajikan satu bukti ” Kesetiaan dan komitmen serta keadilan bagi kemanusiaan adalah esensinya”
Surat Cinta Mualem Untuk Jakarta.
Berikut isinya :
Surat Terbuka Gubernur Aceh Muzakir Manaf kepada Presiden Prabowo: “Pulau Kami, Harga Diri Kami!”
***
Bapak Presiden yang saya hormati,
H. Prabowo Subianto — sahabat seperjalanan, yang dulu pernah menjadi lawan, kini menjadi saudara dalam cita-cita besar Republik.**
Izinkan saya menulis surat terbuka ini. Bukan sekadar sebagai Gubernur Aceh, melainkan sebagai seorang anak bangsa yang pernah berseberangan jalan dengan Bapak, tetapi kini dipertemukan oleh jalan damai dan persatuan.
Barangkali tak banyak pemimpin republik ini yang memahami Aceh sedalam Bapak. Dahulu, kita pernah berdiri di dua sisi berbeda dari sejarah. Saya di hutan-hutan Aceh, memimpin pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), memperjuangkan hak-hak rakyat kami. Bapak kala itu berdiri sebagai bagian dari militer Indonesia, menjaga kedaulatan negara ini. Kita pernah berhadapan dalam pertempuran yang getir, di tengah darah dan air mata rakyat Aceh.
Namun sejarah menuntun kita ke jalan yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Perjanjian damai Helsinki membuka pintu persatuan. Senjata kami letakkan, dendam kami kubur, dan kami memilih berjalan bersama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jalan itu tidak mudah, tetapi kami berani melangkah, demi anak cucu Aceh yang haus damai.
Sejak 2012, saya menambatkan kepercayaan politik saya kepada Bapak. Ketika banyak pihak mempertanyakan pilihan politik saya itu, saya meneguhkan hati bahwa Bapak dapat dipercaya. Ketika banyak pihak ragu, saya percaya pada keberanian dan ketulusan Bapak. Dalam kemenangan maupun kekalahan, kami berdiri di belakang Bapak—hingga hari ini, ketika Bapak memimpin negeri ini sebagai Presiden Republik Indonesia.
Namun kini, luka lama seakan menganga kembali. Empat pulau kami — Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang — telah dialihkan ke Sumatera Utara melalui Kepmendagri 050-145 Tahun 2022 dan dikukuhkan lagi dengan Kepmendagri 300.2.2-2138 Tahun 2025.
Bagi sebagian orang, ini mungkin sekadar urusan administratif. Namun bagi kami, orang Aceh, tanah adalah kehormatan. Harga diri kami. Keempat pulau itu bagian dari sejarah kami sejak masa Kesultanan Aceh. Sejak 1965, Pemerintah Daerah Istimewa Aceh telah menetapkan pengelolaannya melalui SK No. 125/IA/1965. Bahkan dalam masa damai, kami membangun mushalla, rumah singgah nelayan, hingga patok-patok batas yang sah.
Sejak 2018, kami telah berulang kali mengajukan keberatan resmi kepada pusat. Surat demi surat kami kirimkan. Data kami lengkapi. Namun semua seolah hilang dalam riuh rendah birokrasi.
Bapak Presiden,
Saya menulis bukan dalam semangat permusuhan. Tidak. Saya menulis sebagai saudara lama Bapak. Kita pernah bertempur, kini berjalan dalam satu barisan. Saya percaya, dalam hati seorang prajurit seperti Bapak, kehormatan wilayah dan keadilan rakyat adalah sesuatu yang suci.
Izinkan kami memohon:
Bukalah kembali proses verifikasi. Hadirkan kembali dialog yang adil. Kembalikan keempat pulau itu dalam pelukan Aceh — bukan semata demi memperluas wilayah, tetapi demi menegakkan keadilan sejarah dan menjaga kehormatan rakyat kami yang telah setia menjaga perdamaian.
Bapak Presiden,
Aceh tidak meminta lebih dari yang seharusnya. Kami hanya ingin agar luka yang telah kita jahit bersama tidak kembali robek oleh ketidakadilan yang bisa kita cegah. Sebab saya percaya, seperti halnya prajurit memegang sumpah setianya, Bapak akan menjaga keutuhan rasa keadilan negeri ini.
Semoga Allah SWT senantiasa memberi kekuatan kepada Bapak dalam memimpin negeri besar ini dengan kebijaksanaan dan keadilan.
Hormat saya,
Muzakir Manaf (Mualem)
Gubernur Aceh
***
Demikianlah draft surat yang dapat dikirimkan Gub Aceh Muzakir Manaf kepada Presiden Prabowo terkait sengketa empat pulau.
*********
Saya membacanya berulang ulang, menyimak tiap huruf dan kata yang termaktub didalamnya laksana kita semua ke suasana penuh romansa, surat ini di tulis dari sebuah hasil renungan yang teramat dalam, diurai dalam untaian kata penuh rasa seolah usai memandang dan bertutur kepada setiap inci tanah Aceh.
Menyimaknya seakan untaian jiwa kita ikut merasakan menu kegetiran akan masa lalu dan sebuah tekad yang telah teruji akan sebuah sikap pantang untuk menunduk. Pesan cinta tanpa syarat sudah dilantunkan, tertuang dalam sebuah surat, pantang untuk dibuang karena waktu telah membuntikannya.
Akan cinta tanah para patriot telah berbagi Ikrar…
Bumi para Syuhada telah bercerita..
Cintanya tulus murni setulus kucuran darah para pahlawan untuk Republik…sesuci cinta seorang anak kepada kedua orang tuanya…dan itu ditujukan langsung ke jantung Republik…
Sebuah sikap nelangsa dari sang kekasih akan kidung nestapa kepada
( Bersambung… Kata Bomwaktu..)