Oleh: Achmad Ramli Karim
Hasil pilpres 2024 bukanlah rekayasa yang berdiri sendiri, tetapi rangkaian dari rekayasa politik oligarki selama tiga periode pemilu mulai 2014, dan 2019. Tidak hanya bertujuan untuk memenangkan paslon tertentu yang direstui oleh oligarki saja, tetapi juga untuk memperkukuh pundasi ekspansi kaum kapitalis di Indonesia melalui politik transaksional.
Kaum (bangsa) kapitalis, yaitu pemilik modal (pinjaman) dan investor sangat memahami bahwa bangsa Indonesia penduduknya mayoritas Islam, miskin, dan buta politik, sehingga pendekatan BLT dan bansos sangat efektif untuk menjerat dan memecah kekuatan persatuan mereka. Bahkan wakil rakyat pun dilegislatif, dominan rela menggadaikan integritas dan nasionalismenya demi uang dan kepentingan. Kenapa bangsa Indonesia selama ini mampu dijajah secara ekonomi dan politik oleh kaum kapitalis?. Karena selain buta politik, SDM yang rendah, juga sangat mudah dikuasai melalui pendekatan ekonomi dan kepentingan.
Akibatnya rakyat tidak sadar bahwa secara global kaum kapitalis memiliki target politik jangka panjang di Nusantara yang memiliki kekayaan alam, yaitu; bahwa selain untuk memperluas ekspansi dagang (imperialisme) juga berupaya untuk menguasai sumber daya alamnya tersebut (kolonialisme).
Untuk mencapai tujuan itu, kaum kapitalis harus mencegah bangkitnya kekuatan kelompok Islam, yang selanjutnya saya sebut (kelompok kebenaran). Karena orang-orang Islam yang taat pada syariat agamanya, umumnya memiliki sifat amanah serta rasa cinta tanah yang besar pada tanah airnya (nasionalisme). Selain itu tokoh-tokoh Islam dan santri sangat berjasa dalam memerdekakan tanah airnya. Bahkan tidak bisa dipungkiri bahwa perumusan Pancasila sebagai dasar dan Idiologi NKRI digali dari nilai-nilai dan peradaban islam, oleh tokoh-tokoh Islam iri sendiri.
Guna mencegah bangkitnya kekuatan kelompok kebenaran, kaum kapitalis tidak tanggung-tanggung menggelontorkan cost politic guna merontokkan persatuan dan kekuatan kelompok kebenaran melalui “proyek adu domba dan pecah belah” lalu kuasai.
Maka dapat disimpulkan bahwa ekspansi adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk membuat hal yang dimaksud menjadi meningkat atau lebih besar. Selain itu ekspansi juga dapat diartikan sebagai peningkatan aktivitas ekonomi dan pertumbuhan dunia usaha (expansion).
Dengan demikian bangsa Indonesia bagaikan “keluar dari mulut harimau masuk kemulut buaya” luput dari satu bahaya, jatuh kembali ke bahaya yang lain”. kesialan bertubi-tubi. Karena selepas dari Orde Baru yang dikuasai oleh kelompok CSIS (Centre for Strategic and International Studies). Beralih kepada invasi ekonomi kekuatan kelompok lain.
Kondisi ini menggambarkan bangsa Indonesia yang baru saja keluar dari situasi genting, hanya untuk mendapatkan ke lain situasi genting.
Kelompok kebenaran pasca-Reformasi sangat meyakinkan, apalagi perubahan di kelas menengah Kelompok ini semakin kontras. Dalam realitas sosial politik, peranan mereka semakin kuat dan kian bersemarak. Namun, ketika menunjukkan antusias untuk bangkit dari keterpurukan politik, secara otomatis alarm anti-Kebenaran (islamophobia) berbunyi kembali.
Kelompok-kelompok kebenaran yang dimaksud sudah sejak lama dimusuhi oleh banyak pihak, karena keberhasilan propaganda dan hasutan dari buzzer-buzer kelompok islamophobia yang dibiayai oleh kapitalis sekuler. Bahkan berbagai elemen yang sedarah sedaging dengan kelompok tersebut pun ikut memusuhinya, termasuk pejabat publik dan pengusaha nasional.
Operasi politik tingkat tinggi tetap membuat Kelompok kebenaran pada posisi ‘grounded’. Yang bermakna “tidak bisa terbang atau tidak boleh terbang”. Arti lain yang lebih luas adalah ‘dikekang’ agar tidak bisa menjadi kekuatan ancaman bisnis dalam perdagangan global. Hal ini karena Indonesia merupakan negara pangsa pasar terbesar ketiga dunia, dari pemasaran prodak-prodak barat (yahudi).
Menyebut ‘dikekang’, terasa makna ‘grounded’ seperti ini lebih dekat dengan suasana yang dialami oleh Kelompok kebenaran sejak lama (orde baru). Dikekang dalam arti dibelenggu agar tidak bisa bergerak dan berkembang sebagai power, menjadi penguasa dan pengendali Nusantara. Kelompok kebenaran ditindas, ditekan, dikerangkeng, dikriminalisasi, dan sejenisnya. Selalu disudutkan dan dituduh melakukan tindakan intoleran, atau dikaitkan dengan kelompok radikal, atau tindak terorisme. Tuduhan ini sangat manjur dan efektif, untuk mencegah rasa simpati dan empati dari masyarakat umum khususnya sesama muslim.
Ini dilakukan karena kaum kapitalis tidak ingin Kelompok kebenaran menjadi komponen politik yang kuat dan solid di negeri ini. Kekuatan kebenaran tidak boleh muncul sebagai pemain dominan, karena akan merugikan kepentingan kelompok pedagang (bisnis) kaum kapitalis.
Jika kita berkaca pada sejarah imperialisme dan kolonialisme kaum kapitalis di tanah air, kaum kapitalis sangat mudah menaklukkan penguasa dan masyarakat umum (publik) melalui pendekatan bantuan (pinjaman) dan kepentingan termasuk bantuan sosial (bansos). Karena kaum kapitalis sangat paham sifat asli (carackter) dan sisi kelemahan masyarakat Indonesia.
Utang luar negeri Indonesia adalah segala utang yang dilakukan oleh penduduk Indonesia dengan pembayaran ke non-penduduk Indonesia. Jenis utang luar negeri Indonesia dibedakan menjadi utang luar negeri pemerintah, utang luar negeri bank sentral dan utang luar negeri swasta.
(Wikipedia)
Dimasa Orde Baru kiblat pembangunan ekonomi Indonesia adalah barat (AS), sehingga Indonesia menjadi pangsa pasar terbesar dari prodak-prodak barat (yahudi). Sedangkan sistem pemerintahan dan politik hampir sama dengan sistem demokrasi Pancasila, karena barat (AS) juga negara yang menjunjung tinggi sistem demokrasi dan HAM (universal declaration of human rights). Perbedaan yang menjolok adalah sistem ekonomi dan pandangan idiologo, dimana barat menganut ekonomi liberal dan Idiologi sekuler serta adanya image anti Islam (islamophobia).
Ada indikasi sekarang di Indonesia sedang terjadi perang Proxy antara AS-RRT karena barat (Amerika) merasa terancam, gara-gara penguasa merubah kiblat dagang dan kerjasama bisnis dengan RRT yang sebelumnya kiblat Indonesia sejak Orba ke- Barat (Amerika). Dimana RRT berhaluan Marxisme dengan Idiologi komomunis
Komunisme adalah suatu sistem perekonomian dimana peran pemerintah sebagai pengatur seluruh sumber-sumber kegiatan perekonomian. Setiap orang tidak diperbolehkan memiliki kekayaan pribadi, sehingga nasib seseorang bisa ditentukan oleh pemerintah.
Akhirnya melalui kerjasama bilateral (MoU) bantuan (pinjaman) dalam bentuk konsesi 80-120 tahun, kaum kapitalis timur berhasil merangkul penguasa, pimpinan parpol, DPR dan pengusaha dalam transaksi politik kepentingan bersama (politik transaksional).
Bukan transaksi untuk kepentingan rakyat (demokrasi), melainkan untuk kepentingan kelompok yang berkuasa (oligarki). Dan melalui pendekatan politik transaksional tersebut dengan kelompok berkuasa (oligarki), kapitalis berhasil memanfaatkan legislatif melakukan revisi peraturan perundang-undangan termasuk amandemen UUD 1945, untuk memuluskan kepentingan investor (kapitalis) di Nusantara lewat kudeta konstitusi.
Pilpres 2019 membuktikan keberhasilan pembungkaman Kelompok kebenaran. Bahkan ada yang berani menunjukkan kekecewaan itu di jalanan. Tapi, lagi-lagi penguasa berhasil menumpas dan menindasnya.
Berlanjut ke Pilpres 2024, Kelompok kebenaran terpental lagi. Lebih tepatnya disingkirkan lagi. Kebenaran yang selalu berusaha “taat konstitusi” dan “taat hukum” membuat pihak penguasa senang hati. Mereka tinggal mengatur rekayasa penghitungan suara. KPU dan Bawaslu sudah dalam genggaman. Berbagai lembaga survei menciptakan opini publik bahwa anak haram konstitusi akan menang. Dan memang akhirnya menang curang yang kemudian dicuci oleh MK menjadi halal.
Dan pada akhirnya demokrasi Pancasila yang berlandaskan Ketuhanan YME dimatikan, melalui rekayasa politik merubah hukum lewat revisi UU dan amandemen UUD 1945. Begitu pula pengamalan nilai-nilai Pancasila seperti; nilai kejujuran, etika moral, sopan santun, saling tolong menolong, musyawarah untuk mufakat dikubur hidup-hidup. Selanjutnya dilahirkan pandangan (Idiologi) kebebasan dan kemerdekaan individu, dengan pemisahan antara politik dengan agama (anti tuhan).
Pemerhati Politik & Pendidikan
Makassar, 01 Juni 2024.






