MOROWALI – pantau24jam.net. Kunjungan Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin selama dua hari, 19–20 November 2025, ke Kawasan Industri Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) memicu sorotan tajam soal akses dan kedaulatan negara. Dilansir Indeks News.
Kunjungan itu dilakukan dalam kapasitasnya sebagai Ketua Harian Dewan Pertahanan Nasional sekaligus Pengawas Tim Penertiban Kawasan Hutan.
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto bersama Menteri Pertahanan (Menhan) RI Sjafrie Sjamsoeddin, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meninjau langsung lokasi penertiban kawasan hutan yang digunakan untuk aktivitas tambang nikel ilegal di Desa Laroenai, Kecamatan Bungku Pesisir, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, Selasa (4/11/2025).
Penertiban dilakukan oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang berhasil mengamankan lahan seluas 62,5 hektare dari kegiatan penambangan tanpa izin.
Kunjungan para pejabat tinggi negara ini menjadi bentuk dukungan terhadap penegakan hukum dan pelestarian sumber daya alam di wilayah nasional. Dilansir brita.id.
Dalam keterangannya, Menhan Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan bahwa negara harus hadir untuk menertibkan pemanfaatan sumber daya alam secara menyeluruh.
“Negara harus hadir dalam menertibkan semua sumber daya alam di wilayah nasional. Termasuk infrastruktur di kawasan ini harus dilengkapi dengan aparatur seperti imigrasi, bea cukai, dan pejabat pengamanan kamtibmas agar tidak terjadi penyimpangan seperti di masa lalu,” tegas Sjafrie.
Namun yang paling menyita perhatian publik justru pernyataan tegas Sjafrie bahwa “tidak boleh ada negara di dalam negara” di kawasan industri strategis tersebut.
Isu akses mencuat lantaran selama ini bandara dan kompleks IMIP di Morowali, Sulawesi Tengah, disebut-sebut sulit bahkan nyaris mustahil diakses aparat pemerintah.
Kondisi itu menimbulkan kekhawatiran soal potensi celah yang dapat mengancam kedaulatan ekonomi, keamanan nasional, dan pengawasan sumber daya alam di kawasan tambang dan smelter nikel itu.

Latar Belakang: Perintah Presiden, Latihan TNI di Dekat Tambang
Peneliti Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) Edna Caroline menjelaskan, dinamika ini tidak lepas dari perintah Presiden Prabowo Subianto yang meminta TNI menggelar latihan di wilayah-wilayah dekat tambang, termasuk Bangka Belitung dan Morowali.
“Ini kayanya berawal dari perintah Pak Presiden. Kalau kita merujuk ke tahun 2014, Pak Prabowo saat kampanye sudah bicara soal ‘bocor-bocor’. Salah satu yang dinilai banyak kebocoran itu tambang ilegal. Karena itu Presiden beberapa waktu lalu memerintahkan TNI untuk pelatihan di daerah-daerah dekat tambang ilegal, yaitu Bangka Belitung dan Morowali,” kata Edna dalam sebuah wawancara yang dikutip pada Selasa (25/11/2025).
Menurut Edna, latihan gabungan di Morowali itu bukan sekadar latihan militer biasa, melainkan bagian dari penajaman fungsi pengawasan TNI di kawasan kaya tambang yang rawan praktik ilegal dan kebocoran penerimaan negara.
Edna mengaku baru mengetahui skala raksasa kawasan industri IMIP yang mencapai 4.000 hektare, lengkap dengan sebuah bandara di dalam area tersebut.
Namun yang lebih mencengangkan, menurut informasi yang ia terima, tidak ada otoritas resmi Indonesia yang bertugas di bandara itu.
“Ternyata Morowali itu luasnya 4.000 hektare, kawasan industri. Mereka punya bandara yang tidak ada otoritas Indonesia. Itu berarti orang dan barang bisa keluar masuk tanpa diawasi, tertutup. Infonya, aparat keamanan saja tidak bisa masuk,” beber Edna.
Ia menegaskan, tidak adanya petugas Bea Cukai dan Imigrasi di bandara IMIP menjadi persoalan serius.
Hal ini juga telah disampaikan Menhan Sjafrie ketika meninjau latihan Komando Gabungan (Kogab) TNI dengan sandi “Perebutan Pangkalan Udara” yang salah satu fokusnya berkaitan dengan penguasaan dan pengamanan infrastruktur vital.
“Tidak Boleh Ada Negara di Dalam Negara”
Pernyataan Sjafrie bahwa “tidak boleh ada negara di dalam negara” menjadi titik tekan kritik terhadap pengelolaan IMIP.
“Menurut saya yang mengejutkan itu ketika Pak Sjafrie bilang ‘nggak boleh ada negara di dalam negara’. Dia melapor ke Presiden bahwa selama ini di Morowali tidak ada Bea Cukai dan tidak ada Imigrasi yang mengawasi keluar masuk orang dan barang,” ujar Edna.
Edna menafsirkan, frasa “tidak boleh ada negara dalam negara” jelas merujuk pada praktik pengelolaan kawasan industri IMIP yang seolah berjalan dengan aturan sendiri, tanpa kehadiran kuat aparatur negara.
Padahal, IMIP merupakan kawasan industri strategis yang juga melibatkan perusahaan patungan dengan pihak Indonesia, dan mempekerjakan banyak buruh lokal. Namun publik baru belakangan mengetahui bahwa kawasan ini memiliki bandara sendiri yang tertutup dari pengawasan langsung negara.
Dibandingkan dengan Freeport dan Bandara Industri Lain
Sebagai pembanding, Edna menyinggung kawasan tambang lain seperti Freeport di Papua maupun kawasan industri di Kediri, yang menurutnya memiliki bandara terbuka dan diawasi aparat negara.
“Di daerah lain ada bandara, tapi terbuka. Di Freeport ada bandara Moses Kilangan, terbuka. Di Kediri juga terbuka dan nanti bisa dipakai masyarakat. Yang di Morowali ini bandara tertutup, tapi tetap harus ada otoritas pemerintah yang mengawasi keluar masuk orang dan barang,” tegas Edna.
Kalaupun bandara dikategorikan tertutup karena alasan teknis atau keselamatan, lanjut dia, kehadiran otoritas negara tetap wajib. Namun berdasarkan informasi yang ia himpun, sejak 2019 bandara IMIP beroperasi tanpa pengawasan Bea Cukai dan Imigrasi.
Pertanyaan Keras: Siapa Beri Izin Bandara dan Mengapa Negara Diam?
Edna juga menyoroti fakta bahwa bandara IMIP sudah diresmikan sejak 2019 dan selama itu diduga tidak mendapat pengawasan aparat negara.
“Artinya sudah berlangsung cukup lama dan selama itu tidak ada aparatur negara di situ. Itu yang kita pertanyakan. Ada Pemda, ada Kementerian ESDM, kemudian Bea Cukai dan Imigrasi. Kenapa diam saja? Polisi juga kenapa diam? Kalau TNI, untuk intelijen pasti mereka tahu, tapi kan tidak diekspos,” kata Edna.
Ia mempertanyakan apakah ada kepentingan tertentu, tekanan eksternal, atau intervensi politik yang membuat institusi-institusi terkait memilih diam.
“Apakah mereka punya kepentingan di balik itu? Ada tekanan dari luar, dari IMIP sendiri, atau tekanan dari Jakarta? Kita tidak tahu. Menurut saya ini perlu diinvestigasi, termasuk mempertanyakan langsung ke perusahaan IMIP,” tegasnya.
Edna juga mengingatkan bahwa IMIP tidak hanya ramai soal isu akses bandara. Sebelumnya publik juga berkali-kali mendengar kasus kecelakaan kerja di smelter, serta problem bahasa dan standar keselamatan kerja.
Menurut dia, seharusnya bahasa Indonesia menjadi bahasa kerja utama, agar buruh lokal memahami seluruh prosedur dan protokol keselamatan.

Risiko Pertahanan: Dari Masuknya Barang Berbahaya hingga Kebocoran Komoditas
Dari sisi pertahanan, bandara tertutup tanpa otoritas resmi dinilai sebagai lubang besar dalam keamanan.
“Kalau aspek pertahanan, mereka bisa bawa apa saja. Dari luar ke dalam bisa bawa kuman, bom, apa pun, kita tidak tahu karena tidak ada yang mengawasi. Sebaliknya, dari dalam ke luar, kita juga tidak tahu benaran yang dibawa itu timah atau apa. Ini bisa jadi celah ‘kecolongan’,” jelas Edna.
Ia menambahkan, hal ini juga menyangkut keluar-masuknya tenaga kerja asing, termasuk dari Tiongkok, yang selama ini menjadi sorotan di kawasan-kawasan industri nikel.
Di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini memerintahkan Menhan Sjafrie untuk memperkuat penegakan hukum terhadap tambang ilegal.
Perintah itu disampaikan dalam rapat di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, pada Ahad (23/11/2025), bersama Menhan dan sejumlah menteri Kabinet Merah Putih.
“Saya bersama kementerian dan lembaga terkait memastikan seluruh langkah penegakan hukum berjalan terpadu, terukur, dan berkelanjutan,” tulis Sjafrie melalui akun Instagram resminya, Senin (24/11/2025).
Dalam unggahan tersebut, dijelaskan bahwa Presiden menegaskan kembali amanat Pasal 33 UUD 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Berbekal amanat konstitusi dan perintah presiden itu, Sjafrie menegaskan komitmen bahwa Kementerian Pertahanan bersama kementerian dan lembaga terkait tidak akan pandang bulu dalam memberantas praktik tambang ilegal.
“Tidak boleh ada ruang bagi praktik ilegal yang merusak lingkungan, merampas hak negara, dan menghambat pembangunan nasional,” tegas Sjafrie.
Ia memastikan, seluruh proses hukum dari penangkapan, penyidikan, penyelidikan, hingga persidangan akan dikawal secara adil.
Latihan TNI di Morowali dan Bangka Belitung: Pesan Simbolik
Seperti diketahui, Sjafrie baru saja memantau latihan gabungan TNI di Bangka Belitung dan Morowali, Sulawesi Tengah.
Latihan itu diarahkan untuk mempertajam kemampuan TNI dalam mengawasi dan menindak praktik penambangan ilegal, sekaligus menunjukkan bahwa negara hadir di kawasan-kawasan tambang strategis.
Dengan sorotan terhadap IMIP dan bandara tertutup di dalamnya, latihan tersebut kini dibaca publik bukan sekadar agenda rutin, melainkan sinyal penegakan kedaulatan dan penertiban tata kelola sumber daya alam.
Desakan Publik: Tempatkan Bea Cukai, Imigrasi, hingga AirNav
Edna mendorong publik ikut mengawal tindak lanjut setelah Menhan Sjafrie berjanji melaporkan temuan di Morowali kepada Presiden.
“Harapannya harus ada orang Bea Cukai yang ditaruh di situ, ada orang Imigrasi juga, minimal itu. Belum lagi AirNav. Ini urusan safety. Masa pesawat mondar-mandir di situ kita nggak tahu? Ini juga soal regulasi udara,” ujarnya.
Selain penempatan aparat, ia menilai perlu ada penjelasan transparan mengenai izin bandara sejak awal, serta audit menyeluruh atas seluruh praktik operasional yang terjadi di kawasan IMIP sejak berdiri pada 2010 dan berkembang pesat di era pemerintahan sebelumnya.

Tim





