Oleh : Albert Waathahan
Menjelang penganugerahan Gelar Pahlawan Pahlawan Nasional 10 November 2025, Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPC GMNI) Malang dengan tegas menolak pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, karena hal tersebut merupakan bentuk pengkhianatan terhadap jiwa Sumpah Pemuda, semangat Revolusi 1945, dan nilai-nilai Marhaenisme yang diwariskan oleh Bung Karno.
Kami menilai bahwa pemberian gelar tersebut bukan sekadar kesalahan moral dan historis, tetapi juga upaya sistematis untuk mencuci dosa politik Orde Baru yang telah meninggalkan luka panjang bagi rakyat Indonesia.
1. *Soeharto Adalah Arsitek Kontrarevolusi dan Musuh Marhaenisme*
Dalam pandangan ideologis GMNI, rezim Orde Baru di bawah Soeharto adalah puncak kontrarevolusi nasional. Ia menumpas kaum Marhaen, membungkam gerakan rakyat, dan menggantikan demokrasi rakyat dengan otoritarianisme militeristik.
Selama tiga dekade kekuasaannya, Soeharto melakukan:
– De-Soekarnoisasi, yaitu penghapusan sistematis terhadap ajaran Bung Karno dan semangat Marhaenisme.
– Penciptaan Negara Militeristik, di mana rakyat diawasi, ditakuti, dan dipaksa tunduk pada kekuasaan.
– Kapitalisme Komprador, menjadikan Indonesia sebagai pasar dan pelayan modal asing melalui eksploitasi sumber daya alam dan rakyat kecil.
Dalam Marhaenisme, pahlawan sejati adalah mereka yang membebaskan manusia dari penindasan, bukan mereka yang memperbudak bangsanya sendiri. Maka, menyematkan gelar pahlawan kepada Soeharto adalah pengkhianatan terhadap Marhaenisme itu sendiri.
2. *Soeharto dan Politik Kekerasan Negara*
Sejarah mencatat bahwa kekuasaan Soeharto dibangun di atas darah dan air mata rakyat.
Tragedi 1965–1966 bukan sekadar peristiwa politik, tetapi genosida terhadap manusia Indonesia. Ratusan ribu rakyat, aktivis, petani, dan buruh dibunuh tanpa pengadilan.

Selama Orde Baru, terjadi:
– Pembredelan kebebasan pers dan akademik, membungkam kampus dan ruang intelektual.
– Pelanggaran HAM berat seperti Talangsari 1989, DOM Aceh, Tanjung Priok 1984, Petrus 1980-an, dan tragedi Mei 1998.
– Pemusnahan generasi kritis, termasuk pembungkaman organisasi mahasiswa seperti GMNI, CGMI, dan LEKRA yang dianggap mengancam kekuasaan.
Kekuasaan yang menindas rakyatnya sendiri tidak layak disebut pahlawan, melainkan pelaku kejahatan kemanusiaan.
3. *Pengkhianatan terhadap Kedaulatan Ekonomi Rakyat*
Dalam perspektif teori _Dependency_ (Andre Gunder Frank, Samir Amin), kebijakan ekonomi Soeharto membangun struktur ketergantungan yang permanen.
Melalui utang luar negeri, liberalisasi ekonomi, dan dominasi korporasi asing seperti Freeport dan Caltex, Indonesia kehilangan kedaulatan atas kekayaan alamnya sendiri.
Kekayaan bangsa terkonsentrasi di tangan keluarga Cendana dan kroninya, sementara kaum buruh dan petani tetap miskin di tanahnya sendiri.
Soeharto tidak pernah membangun ekonomi kerakyatan seperti cita-cita Bung Karno, melainkan ekonomi oligarkis yang hingga kini mewariskan kesenjangan sosial.
4. *Soeharto Melanggar Pancasila dan Konstitusi*
Orde Baru telah memanipulasi Pancasila menjadi alat kekuasaan.
Sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” digantikan dengan kekuasaan ekonomi yang pro-konglomerat, sedangkan sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dicederai oleh pembunuhan, penyiksaan, dan penghilangan paksa.
Pasal pembukaan UUD 1945 “melindungi segenap bangsa Indonesia” berubah menjadi legitimasi bagi kekerasan negara terhadap rakyatnya.
Dengan demikian, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto adalah pelanggaran moral terhadap konstitusi itu sendiri.
5. *Sikap dan Seruan Ideologis DPC GMNI Malang*
Sebagai organisasi kader ideologis yang berpijak pada ajaran Marhaenisme Soekarno, kami menolak segala bentuk glorifikasi terhadap figur yang menindas rakyat.
Bagi kami, Soeharto bukan simbol stabilitas, melainkan simbol pembusukan moral kekuasaan.
Pahlawan sejati adalah mereka yang berjuang bersama rakyat, bukan yang memenjarakan rakyat atas nama negara.
Kami menyerukan:
1. Kepada Pemerintah RI dan Dewan Gelar Pahlawan Nasional untuk menghentikan segala bentuk wacana pemberian gelar kepada Soeharto.
2. Kepada masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, untuk melawan amnesia sejarah dan membaca ulang periode Orde Baru secara kritis.
3. Kepada negara dan lembaga hukum, untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap korban dan sejarah bangsa.
6. Penutup: Melawan Pelupaan, Menegakkan Kebenaran
Bangsa yang besar bukan bangsa yang melupakan sejarah, melainkan bangsa yang berani menatap sejarah dengan jujur dan adil.
Selama Marhaen masih tertindas, perjuangan belum selesai. Dan selama sejarah masih diputarbalikkan, kami, anak ideologi Bung Karno, tidak akan diam, kami menegaskan penolakan total terhadap pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, demi menjaga kemurnian sejarah, martabat bangsa, dan amanat Revolusi 1945 yang telah ditegaskan oleh
Bung Karno:
“Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri yang berjiwa penjajah.”

Malang, 6 November 2025






