Zohran Kwame Mamdani Menang Dalam Pemilihan Wali Kota New York (DBNY) 

NEW YORK – pantau24jam.net. MAMDANI Seperti yang banyak dijangka, Zohran Kwame Mamdani menang dalam pemilihan Wali Kota New York (DBNY) dan menjadi Wali Kota pertama yang beridentitas Islam.

Saya menggunakan istilah beridentitas Islam bukan beragama Islam karena dia seorang Syiah. Nanti orang bisa bertanya, “Syiah itu Islam atau bukan?”

Bacaan Lainnya

Keluarga Mamdani berasal dari Gujarat, India, sebelum hijrah ke Afrika — pertama ke Uganda, kemudian ke Afrika Selatan, dan akhirnya ke New York.

Mamdani lahir di Uganda. Artinya, dia tidak bisa menjadi presiden Amerika Serikat karena syaratnya presiden harus lahir di wilayah Amerika.

Meski jabatan Wali Kota New York secara umum mirip dengan Wali Kota Kuala Lumpur (DBKL) — mengurus urusan kota, hanya saja dengan wewenang yang jauh lebih besar — namun karena New York adalah kota terbesar di Amerika dan pusat ekonomi dunia, pemilihannya menjadi sorotan global.

Terlebih lagi ketika Mamdani menimbulkan sensasi dengan janjinya: jika terpilih, ia akan mematuhi surat perintah Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan menangkap Netanyahu bila datang ke New York untuk menghadiri Sidang Umum PBB.

Namun janji itu sebenarnya lebih bersifat retorik. Wali Kota New York tidak memiliki kewenangan menangkap seseorang berdasarkan surat perintah ICC, karena Amerika Serikat tidak menandatangani Statuta Roma, sehingga tidak terikat dengan ICC.

Bahkan Wali Kota New York pun tidak memiliki wewenang melarang seseorang masuk ke kota tersebut; hal itu adalah urusan pemerintah federal, bukan pemerintah lokal seperti DBNY.

Bagaimanapun juga, retorika Mamdani sudah cukup membangkitkan semangat gerakan solidaritas Palestina. Luar biasa memang, seorang yang keras menentang kekejaman Zionis bisa menjadi wali kota dari kota yang menjadi simbol Amerika.

Banyak orang mungkin melihat latar belakang “Islam” Mamdani sebagai alasan dia pro-Palestina, tetapi sebenarnya faktor utamanya adalah ideologinya.

Mamdani termasuk dalam faksi sosialis demokratik dalam Partai Demokrat. Kelompok ini cenderung mengusung gagasan sosialis seperti pemerataan kekayaan (meningkatkan pajak orang kaya, membantu kaum miskin).

Beberapa sosialis demokrat terkenal antara lain Bernie Sanders dan Alexandria Ocasio-Cortez — keduanya adalah rekan seperjuangan Mamdani.

Seseorang tidak bisa disebut sosialis sejati jika tidak bersikap kritis terhadap kebijakan luar negeri Amerika yang bersifat imperialis.

Kelompok sosialis demokrat ini sudah lama vokal menentang dukungan Amerika terhadap Israel. Mereka juga mendukung gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) untuk menekan Israel agar menghentikan kejahatan perang terhadap Palestina.

Namun mereka tetap mengakui “hak eksistensi” Israel, mengecam Hamas, dan mendukung solusi dua negara (two-state solution). Sedangkan Mamdani justru mendukung one-state solution — satu negara demokratis sekuler yang menyatukan Yahudi, Arab, dan seluruh etnis Palestina dengan hak yang sama.

Sikap itu saja sudah cukup membuat para Zionis garis keras di Amerika gusar — termasuk Donald Trump sendiri.

Trump menganggap dirinya “abang besar” New York, tempat ia tumbuh dan membangun bisnis. Jadi, dia sulit menerima jika ada seseorang dengan ideologi yang berlawanan berkuasa di sana.

Selain itu, kebijakan Mamdani bersifat sosialis — ia ingin menyediakan penitipan anak gratis, bus gratis, dananya dari pajak untuk kaum superkaya. Hal ini tentu membuat Trump, seorang kapitalis sejati, resah karena kebijakan tersebut bisa merugikan bisnisnya dan para kroninya di New York.

Belum lagi, Mamdani juga sangat liberal atau woke dalam isu sosial, seperti kebanyakan sosialis demokrat lain. Ia mendukung komunitas LGBT dan ingin menjadikan New York sebagai “tempat aman” (sanctuary) bagi mereka, berlawanan dengan Trump yang anti-LGBT dan anti-woke.

Karena itu Trump benar-benar murka terhadap Mamdani, sampai-sampai menyatakan tidak akan menyalurkan dana federal untuk New York.

Apa artinya semua ini bagi perjuangan Palestina?

Secara realistis, Mamdani hanyalah seorang wali kota; ia tidak membuat kebijakan luar negeri, jadi pengaruh langsungnya terhadap posisi Amerika dalam isu Palestina terbatas.

Namun kemenangannya dianggap sebagai kemenangan besar bagi faksi sosialis demokratik yang kini berusaha mendominasi Partai Demokrat.

Selama ini Partai Demokrat dikuasai oleh kelompok “establishment” seperti Joe Biden dan Kamala Harris, yang sangat pro-Israel dan mempertahankan kebijakan luar negeri Amerika yang lama dan imperialis.

Kelompok sosialis demokrat mulai mendapat tempat karena generasi muda (Gen Y dan Gen Z) menolak ideologi establishment. Bernie Sanders bahkan hampir menjadi calon presiden Demokrat dua kali (2016 dan 2020), hanya saja akhirnya mundur karena tekanan dari kubu establishment yang lebih mendukung Hillary Clinton dan Biden.

Namun kinerja pemerintahan Biden dan kekalahan Kamala dalam pemilihan presiden baru-baru ini makin melemahkan kubu establishment untuk terus memimpin Partai Demokrat. Sementara kemenangan Mamdani menunjukkan bahwa faksi sosialis demokrat kini lebih kredibel menantang Trump dan Partai Republik.

Jika suatu hari nanti Partai Demokrat benar-benar dikuasai oleh faksi sosialis demokrat dan mereka berhasil menguasai Kongres atau Gedung Putih, maka akan terjadi perubahan besar dalam kebijakan luar negeri Amerika.

Melawan Amerika secara langsung memang mustahil — kekuatan militer dan ekonominya tidak tertandingi.

Namun politik domestik Amerika rapuh, dan di situlah peluang untuk melemahkannya dari dalam.

Inilah pula strategi China sekarang. China memiliki kekuatan ekonomi dan militer yang bisa menantang Amerika, tetapi menghindari konfrontasi langsung.

Dalam perang dagang pun, meskipun China membalas tarif Amerika dengan pembatasan ekspor mineral tanah jarang, akhirnya tetap memilih berunding saat Amerika menurunkan tarif.

China tahu tidak ada manfaatnya berkonfrontasi terbuka; ia memilih cara halus: propaganda, perang informasi, dan taktik hybrid war untuk melemahkan Amerika dari dalam.

Jadi, kita tidak perlu terlalu risau karena Mamdani seorang Syiah atau pro-LGBT. Kita tidak sedang menjadikannya pahlawan Islam — melainkan sekutu strategis dalam solidaritas global untuk Palestina.

Tokoh seperti dia akan membuat politik Amerika semakin kacau, hingga akhirnya negara itu tidak lagi mampu menjalankan kebijakan luar negeri yang efektif dalam mendukung Israel.

Itulah “permainan jangka panjangnya”. Dan karena itu pula, kemenangan Mamdani patut dianggap sebagai perkembangan yang layak dirayakan.

Dalam buku ADIKUASA, saya pernah menulis bahwa hegemoni Amerika pada akhirnya akan runtuh bukan karena kalah di medan perang, tetapi karena membusuk (decay) dan ambruk dari dalam. Dapatkan buku itu di toko atau klik tautan di kolom komentar.

(*)

Pos terkait