Renungan Hari Sumpah Pemuda

Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober masih 2 hari lagi. Namun tak ada salahnya kita renungkan sekarang.

Mengatakan anak anak kita cenderung lebih menyukai ideologi lain daripada Pancasila, sepertinya kok terkesan buat pembenaran diri kita yang tua tua ini, atas kondisi sekarang yang didominasi kapitalisme liberal.

Kalau benar benar prihatin, masalah pokok adalah gagalnya kita menciptakan strategi komunikasi yang cespleng untuk menanamkan penghayatan kesadaran tentang Pancasila. Mengetahui dan memahami.

Bukannya malah mengajak kita mengasihani diri sendiri. Buat anak anak kita, apalagi usia Gen-Z, soalnya bukan menyukai ideologi lain atau yang serba asing. Tapi mendorong hasrat anak anak muda kita belajar dan mengeksplorasi banyak hal dari mana saja termasuk mancanegara.

Agar memperkaya dan meluaskan wawasannnya. Untuk kemudian melahirkan ide ide baru yang khas negeri dan bangsa kita sendiri.

Para bapak pendiri bangsa yang berkumpul di sidang BPUPKI jelang kemerdekaan antara Mei-Agustus 1945, 17 tahun sebelumnya, mereka pula yang ikutserta dan memotori kongres pemuda 1927-1928.

Sebagai pemuda pelajar dan mahasiswa, sejak usia G-Z mereka sudah menggali pengetahuan dari berbagai sumber dan rujukan dalam khazanah nusantara tapi juga termasuk khazanah mancanegara dari Eropa, Jepang, Cina, dan India.

En toh, mereka tetap saja melahirkan sesuatu yang khas dan orisinil bangsa kita sendiri. Pancasila dan Sumpah Pemuda harus kita pandang sebagai buah karya yang lahir dari suatu proses pergolakan pemikiran dan gagasan.

Di sinilah saya percaya, revolusi lahir sejatinya berkat pertumbuhan benih dan bibit dari dalam. Faktor eksternal yang ahli sejarah kerap mengira sebagai penyebab langsung meletusnya revolusi, sebenarnya cuma momentum atau pemicu belaka. Inti soal, buahnya memang sudah ranum dari dalam. Buah karya bukan cuma memancarkan gagasan, melainkan juga semangat zamannya.

Penemuan dari kisah sukses generasi 1928 dan 1945 inilah yang tidak diteladani orang tua orang tua sekarang ketika berurusan dengan anak-anak muda zaman kiwari. Zaman yang sedang kita jalani saat ini.

Betapa para senior dan mentor para aktivis pemuda 1928 maupun para aktivis pergerakan 1945, yang waktu itu usianya kisaran 5 sampai 10 tahun lebih muda dari para pemuda angkatan 1928/1945 itu, bukannya sekadar ngasih petuah dan mendikte anak anak muda. Tapi mereka ngasih road map atau peta jalan. Buat bekal ketika masuk kancah pergerakan.

Usia Bung Karno dan Bung Hatta pada 1928 saat para pemuda berkongres di Kramat Raya 108, cuma lebih tua 4 atau 5 tahun dibanding Amir Sjarifuddin, Mohammad Yamin, Kartosuwiryo dan Jo Leimena. Namun kedua tokoh pergerakan nasional itu lebih baik jadi inspirator saja.

Ya. Anak anak muda kita sekarang lebih butuh peta jalan. Bukannya petuah yang menggurui apalagi mengatur atur.

Pos terkait