JAKARTA – pantau24jam.net. Wilmar International Limited menanggapi soal tumpukan uang yang ditunjukkan Kejaksaan Agung dalam konferensi pers, Selasa, 17 Juni 2025.
Uang itu merupakan uang jaminan pengembalian kerugian negara yang dilakukan oleh anak perusahaan Wilmar dalam kasus korupsi crude palm oil (CPO) dan produk turunannya yang terjadi periode Juli 2021 hingga Desember 2021.
“Uang jaminan tersebut merupakan sebagian dari kerugian negara yang diduga terjadi dan sebagian dari keuntungan yang diperoleh Wilmar dari perbuatan yang diduga dilakukannya,” kata siaran pers resmi perusahaan induk Wilmar Group yang diterima Tempo, Rabu, 18/6/2025.
Uang jaminan tersebut, menurut Wilmar, akan dikembalikan apabila Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Uang itu bisa disita oleh negara baik seluruhnya maupun sebagian apabila Mahkamah Agung memutuskan Wilmar bersalah.
“Para termohon Wilmar tetap menyatakan bahwa semua tindakan yang mereka lakukan dilakukan dengan itikad baik dan bebas dari segala bentuk niat korup,” katanya.
Menurut Wilmar, uang triliunan rupiah itu merupakan hasil konversi kerugian negara yang diduga terjadi dalam kasus korupsi yang diduga dilakukan oleh lima anak perusahaan Wilmar Group, yaitu PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
“Menuntut kerugian negara secara agregat sebesar Rp 12,3 triliun atau sekitar USD 755 juta,” katanya.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung menyita uang sebesar Rp 11 triliun dari terdakwa korporasi PT Wilmar Group terkait perkara dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannya yang terjadi periode Juli 2021 hingga Desember 2021.
Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Sutikno dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa, 17/7/2025, mengatakan bahwa uang triliunan tersebut disita dari lima terdakwa korporasi yang tergabung dalam PT Wilmar Group.
Kelima perusahaan itu adalah PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
“Kelima terdakwa korporasi tersebut di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah diputus oleh hakim dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum sehingga penuntut umum melakukan upaya hukum kasasi yang hingga saat ini perkaranya masih ada dalam tahap pemeriksaan kasasi,” katanya seperti dilansir Antara, Selasa, 17/6/2025.
Sutikno mengatakan, akibat perbuatan para terdakwa korporasi, negara mengalami kerugian dalam tiga bentuk, yaitu kerugian keuangan negara, illegal gain, dan kerugian perekonomian negara yang seluruhnya sebesar Rp 11.880.351.802.619 atau Rp 11,88 triliun.
Sutikno merincikan, jumlah tersebut terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan sebesar Rp 3.997.042.917.832,42 (Rp 3,99 triliun); PT Multi Nabati Sulawesi sebesar Rp 39.756.429.964,94 (Rp 39,75 miliar); PT Sinar Alam Permai sebesar Rp 483.961.045.417,33 (Rp 483,96 miliar); PT Wilmar Bioenergi Indonesia sebesar Rp 57.303.038.077,64 (Rp 57,3 miliar); dan PT Wilmar Nabati Indonesia sebesar Rp 7.302.288.371.326,78 (Rp 7,3 triliun).
Lalu, dalam perkembangannya pada tanggal 23 dan 26 Mei 2025, kelima terdakwa korporasi itu mengembalikan seluruh uang sebagaimana total nilai kerugian yang ditetapkan, yaitu sebesar Rp 11.880.351.802.619,00 (Rp 11,88 triliun).
“Uang tersebut sekarang kami simpan di rekening penampungan lain (RPL) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus pada Bank Mandiri,” kata Sutikno. Terhadap uang tersebut, Sutikno mengatakan bahwa jaksa penuntut umum (JPU) menyita seluruhnya dalam rangka kepentingan pemeriksaan di tingkat kasasi.
Dalam laman Direktori Putusan Mahkamah Agung (MA), Majelis Hakim menyatakan perusahaan PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group terbukti melakukan perbuatan sesuai dakwaan primer maupun subsider JPU.
Adapun para tersangka korporasi didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kendati demikian, Majelis Hakim menyatakan perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana (ontslag van alle recht vervolging) sehingga para terdakwa dilepaskan dari tuntutan JPU.
Majelis Hakim juga memerintahkan pemulihan hak, kedudukan, kemampuan, harkat, serta martabat para terdakwa seperti semula. Atas putusan tersebut, Kejagung pun mengajukan kasasi. Belakangan diketahui majelis hakim yang menangani perkara ini menerima suap dari Wilmar.
(*)