Diduga Pimpinan DPRD Jeneponto Terseret Penyelewengan Dana Makan Minum

JENEPONTO – pantau24jam.net. Pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Jeneponto tahun anggaran 2024 mengungkap belanja makanan dan minuman (Mamin) fiktif serta tidak layak bayar di lingkungan rumah jabatan (Rujab) Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Jeneponto.

Di balik angka-angka dalam laporan keuangan daerah, tersimpan potret buram praktik pengelolaan anggaran yang menyimpang.

Bacaan Lainnya

1. Uang Makan Tetap Jalan Meski Rujab Kosong
Pemeriksaan BPK menemukan bahwa dua dari tiga pimpinan DPRD, yakni Wakil Ketua I dan II, tidak menempati rumah jabatan selama tahun 2024. Fisik rumah jabatan pun tak layak huni, tanpa pemeliharaan, tak ada aktivitas listrik yang berarti, dan tidak tersedia fasilitas penyimpanan bahan makanan.

Namun ironisnya, anggaran makan-minum tetap dicairkan. Bahkan realisasinya tergolong besar: total pembayaran kepada penyedia mencapai Rp1,25 miliar. Dari jumlah tersebut, ditemukan kelebihan pembayaran sebesar Rp247,9 juta untuk dua pimpinan yang tak menempati rumah dinas.

2. Pengadaan Tak Sesuai Prosedur
Pengadaan makanan dan minuman dilakukan melalui kontrak dengan penyedia senilai Rp1,57 miliar.
Namun, penelusuran BPK menunjukkan proses ini sarat kejanggalan:
a. Nota pembelian tidak lengkap.
b. Penyerahan barang tidak didokumentasikan.
c. PPTK dan pengurus barang tidak pernah menyaksikan atau memeriksa barang yang dibeli.
d. Lokasi penyerahan makanan justru dilakukan di rumah pribadi atau bahkan hanya di pinggir jalan.

Untuk Wakil Ketua I, makanan hanya diantar sampai depan Rujab, kemudian diambil oleh seseorang tak dikenal. Wakil Ketua II malah meminta makanan dikirim ke rumah pribadinya di Jalan Pahlawan. Keduanya tidak memenuhi syarat untuk menerima fasilitas Rujab karena tidak tinggal di sana. Sesuai aturan, mereka seharusnya hanya menerima tunjangan perumahan.

3. Tanda Tangan Formalitas, Barang Tak Pernah Dicek
Yang lebih mengkhawatirkan, PPTK yang bertanggung jawab mengaku tidak pernah memesan barang ke penyedia dan hanya diminta menandatangani dokumen yang sudah disiapkan. Hal serupa dikatakan pengurus barang. Praktis, seluruh proses pengadaan berjalan tanpa pengawasan berarti.

BPK mencatat dari total belanja Rp1,25 miliar, terdapat:
Rp247,9 juta kelebihan bayar ke dua pimpinan yang tak tinggal di rumah jabatan.
Rp227,2 juta uang makan yang diakui sendiri oleh penyedia sebagai tidak dilaksanakan (karena dikembalikan tunai kepada Ketua DPRD).
Rp714,2 juta belanja yang tidak dapat diyakini kewajarannya karena bukti dan dokumentasi yang lemah.

4. Duit Negara Kembali ke Tangan Pejabat
Salah satu temuan paling serius adalah adanya pengembalian uang secara tunai oleh penyedia kepada pimpinan DPRD. Ketua DPRD diketahui menerima uang tunai sebesar Rp227 juta dari penyedia, usai proses pencairan SP2D.

Penyedia mengaku dokumen pertanggungjawaban dibuat hanya untuk menyesuaikan nilai kontrak. Nota dan item barang tidak sesuai dengan kenyataan. Artinya, proses ini diduga hanya formalitas administratif untuk mencairkan dana.

5. Melanggar Banyak Aturan
BPK menilai temuan ini melanggar banyak regulasi, antara lain:
PP No. 12/2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
PP No. 18/2017 tentang Hak Keuangan Pimpinan DPRD.
Permendagri No. 15/2023 tentang APBD.
Perbup Jeneponto No. 27/2017 tentang hak keuangan pimpinan DPRD.

Semua aturan tersebut dengan jelas menyatakan bahwa belanja rumah tangga hanya diberikan jika pimpinan DPRD menempati rumah jabatan. Bila tidak, maka hanya berhak atas tunjangan rumah.

6. Rekomendasi BPK:
Uang Harus Dikembalikan
BPK merekomendasikan agar Bupati Jeneponto segera:
Menarik kelebihan pembayaran dari Wakil Ketua I dan II DPRD sebesar Rp124 juta dan Rp123 juta.
Menarik dana dari Ketua DPRD sebesar Rp227 juta untuk belanja yang tidak dilaksanakan.
Memproses uang makan-minum yang tidak jelas penggunaannya senilai Rp714 juta.
Memberikan pembinaan kepada para pejabat teknis terkait.
Menginstruksikan Inspektorat untuk memeriksa lebih lanjut belanja yang tak dapat diyakini.

Temuan ini bukan hanya mencerminkan kelemahan sistem pengawasan, tapi juga membuka dugaan bahwa mekanisme anggaran bisa dimanipulasi demi keuntungan pribadi.

A R & Tim

Pos terkait