Oleh: Achmad Ramli Karim
(Pemerhati Politik & Pendidikan)
Membungkam kebenaran atau menutupi informasi yang valid memiliki efek negatif. Salah satunya adalah efek ilusi kebenaran, di mana informasi yang salah dianggap benar karena sering diulang-ulang. Pernyataan “kesalahan yang diulang-ulang akan menjadi kebenaran” merupakan sebuah fenomena yang dikenal sebagai “illusory truth effect” atau “efek kebenaran ilusi”. Ini terjadi karena pengulangan informasi bahkan yang salah, membuat kita lebih cenderung mempercayainya sebagai kebenaran. Sebab otak manusia cenderung lebih menyukai hal-hal yang familiar. Ketika informasi diulang-ulang, otak mengidentifikasi pengulangan tersebut sebagai tanda kebenaran, karena pengulangan biasanya terkait dengan hal-hal yang sudah kita ketahui.
Jika penguasa sengaja membungkam kebenaran informasi secara sistimik, berarti mereka telah merencanakan kejahatan yang dapat dikategorikan penghianatan dalam jabatan. Kejahatan struktural atau kejahatan sistemik adalah kejahatan yang muncul dari struktur dalam masyarakat manusia, bukan dari kejahatan individu atau konsep agama seperti dosa asal . Salah satu contoh kejahatan struktural dalam masyarakat adalah perbudakan dan pembodohan politik. Pembodohan politik atau pembohongan publik adalah tindakan menyebarkan informasi yang tidak benar atau menyesatkan kepada publik dengan tujuan untuk menipu, mengelabui, atau merugikan orang lain. Pembohongan publik bisa berupa penyebaran berita bohong, klaim palsu, atau informasi yang disajikan secara salah.
“Proses pembodohan politik yang terus menerus dilakukan oleh berbagai lembaga politik, memunculkan apatisme rakyat terhadap segala produk yang dihasilkan oleh lembaga politik”.
Ijazah merupakan bukti formal kelulusan dari suatu lembaga pendidikan, memiliki peran penting dalam legitimasi kekuasaan, terutama bagi mereka yang berkarir di bidang pemerintahan atau yang memiliki pengaruh sosial. Selain itu, Ijazah juga berfungsi sebagai bukti kompetensi dan keahlian seseorang, yang seringkali menjadi syarat untuk mendapatkan kepercayaan publik dan akses ke posisi-posisi penting.
Oleh karena itu pembuktian keaslian Ijazah bukan hanya sekadar selembar bukti kelulusan, melainkan soal keabsahan dan legitimasi kekuasaan, sebagai; simbol kompetensi, syarat akses, dan sumber kepercayaan publik, yang dapat mendukung legitimasi kekuasaan tersebut.
1. *Bukti Kompetensi*
Ijazah menunjukkan bahwa seseorang telah menyelesaikan pendidikan formal dan memenuhi standar kompetensi tertentu di bidang keahliannya. Hal ini membuat publik lebih percaya bahwa orang tersebut mampu menjalankan tugas-tugas yang terkait dengan kekuasaan yang dipegangnya.
2. *Syarat Akses ke Posisi Penting*
Di banyak negara, termasuk Indonesia, ijazah seringkali menjadi syarat utama untuk menjabat posisi-posisi penting dalam pemerintahan atau sektor publik. Ini membuat ijazah menjadi alat yang krusial dalam legitimasi kekuasaan, karena tanpa ijazah yang sah, seseorang mungkin tidak dapat diakui sebagai pemegang otoritas yang sah.
3. *Sumber Kepercayaan Publik*
Ketika seseorang memiliki ijazah dari lembaga pendidikan yang terpercaya (terakreditasi), hal itu dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadapnya. Publik cenderung menganggap bahwa orang tersebut memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menjalankan tugas-tugasnya dengan baik.
Legitimasi kekuasaan adalah penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin atau penguasa untuk memerintah, membuat, dan melaksanakan keputusan politik. Ini berarti masyarakat mengakui dan menganggap sah bahwa pemimpin atau penguasa berhak menjalankan kekuasaan yang diberikan kepada mereka.
Legitimasi menunjukkan bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin atau penguasa dianggap sah dan memiliki dasar hukum atau moral yang kuat. Legitimasi juga berarti masyarakat memiliki ketaatan pada pemimpin atau penguasa karena wibawa dan bukan karena takut, sebab dukungan masyarakat merupakan faktor penting dalam legitimasi kekuasaan.
Legitimasi kekuasaa sangat penting, untuk stabilitas politik dan pemerintahan yang efektif. Karena tanpa legitimasi, kekuasaan dapat menjadi “tidak sah dan tidak legitimate”.
“Tidak sah” dan “tidak legitimate” memiliki perbedaan dalam konteks hukum. “Tidak sah” (void atau voidable) biasanya merujuk pada perjanjian atau tindakan yang tidak memenuhi persyaratan hukum, sehingga dapat dibatalkan. Sementara “tidak legitimate” (batal demi hukum) berarti perjanjian atau tindakan tersebut dianggap tidak pernah ada dan tidak memiliki kekuatan hukum sejak awal.
Dengan demikian, “Tidak sah” memiliki dua pengertian (void dan voidable), di mana perjanjian atau tindakan tersebut dapat dibatalkan. Sementara “tidak legitimate” (batal demi hukum) berarti perjanjian atau tindakan tersebut dianggap tidak pernah ada dan tidak memiliki kekuatan hukum sejak awal.
*Efek Membungkam Kebenaran*
Sebagaimana diuraikan diawal tulisan ini, bahwa membungkam kebenaran atau menutupi informasi yang valid memiliki berbagai efek negatif. Salah satunya adalah efek ilusi kebenaran, di mana informasi yang salah atau tidak valid dianggap benar karena sering diulang-ulang. Selain itu, membungkam kebenaran dapat menyebabkan ketidakjelasan, kesulitan dalam pengambilan keputusan, dan potensi kerugian bagi individu dan masyarakat.
Adapun efek membungkam kebenaran, antara lain:
(1) Efek ilusi kebenaran:
Proses pengulangan informasi, meskipun salah, dapat meningkatkan persepsi kebenarannya. Sebab otak manusia cenderung lebih mudah memproses informasi yang familiar (sering diulang) dan menganggapnya valid, walaupun sumbernya tidak jelas atau tidak dapat dipercaya.
(2) Ketidakjelasan dan kesulitan pengambilan keputusan:
Menutupi kebenaran atau informasi yang penting dapat membuat orang kesulitan memahami situasi secara lengkap dan akurat. Hal ini dapat menyebabkan pengambilan keputusan yang salah, bahkan jika informasi yang valid sebenarnya tersedia.
(3) Potensi kerugian:
Membungkam kebenaran dapat berdampak negatif bagi berbagai pihak. Misalnya, dalam konteks hukum, menyembunyikan bukti kebenaran dapat menyebabkan kesalahan dalam penyidikan dan putusan pengadilan. Dalam konteks politik, membungkam kebenaran dapat mengarah pada kebijakan yang salah dan merugikan masyarakat.
(4) Kerusakan kepercayaan:
Penyembunyian kebenaran dapat merusak kepercayaan antara individu, antara pemerintah dan masyarakat, serta antar lembaga. Ketidakpercayaan ini dapat menghambat kerjasama dan pembangunan.
(5) Gangguan pada proses belajar dan pengembangan:
Penyembunyian kebenaran dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan pemahaman yang lebih luas. Hal ini karena kebenaran adalah dasar untuk pembelajaran dan pengembangan.
Makassar, 6 Mei 2025