Barat Mencegah Khilafah Menjadi Contoh Kebangkitan Politik Islam

Oleh: Achmad Ramli Karim

(Pemerhati Politik & Pendidikan)

Bacaan Lainnya

Indonesia adalah negara Kesatuan yang berbentuk Republik dan bukan negara teokrasi, yang berdasarkan pada hukum agama tertentu termasuk bukan negara Islam. ‘Teokrasi” adalah kata Yunani yang berarti ”pemerintahan oleh Tuhan.” Teokrasi adalah negara yang diperintah oleh pemerintah yang memperoleh otoritasnya secara langsung dari suatu agama. Namun dadar negara dan falsafah bangsa Indonesia dibangun oleh para bapak bangsa (the founding fathers), berdasarkan nilai-nilai luhur dan karakter bangsa (character building). Yaitu karakter yang tumbuh dan berkembang sebagai peradaban masyarakat yang mayoritas muslim (peradaban islam), sebagai nilai-nilai luhur pancasila. Hakikat peradaban Islam adalah suatu bentuk perwujudan nilai-nilai Islam dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk budaya, sosial, intelektual, dan artistik. Peradaban Islam menekankan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan kedamaian. Hal ini dapat kita pahami dari sejarah perumusan “Pembukaan UUD 1945 yang dijiwai oleh ‘ Piagam Jakarta”. Setelah proklamasi kemerdekaan, Piagam Jakarta mengalami perubahan, terutama pada sila pertama “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perubahan ini dilakukan untuk mengakomodir permintaan dari perwakilan wilayah timur Indonesia dan tokoh agama non muslim.

Dimasa pemerintahan Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Indonesia memilih sistem ekonomi dan politik dagang yang berkiblat ke barat khususnya AS. Namun Barat anti syariat islam (khilafah). Dunia barat atau Eropa lebih menekankan penegakan HAM yang bersumber pada nilai-nilai universal yang berbasis sekuler, sebagaimana yang berlaku di benua Eropa dalam demokrasi liberalisme.

Sekuler adalah istilah yang merujuk pada sesuatu yang bersifat duniawi atau kebendaan, dan cenderung menjauhi hal-hal yang bersifat kerohanian dan keagamaan. Dalam konteks sosial dan politik, sekulerisme adalah ideologi yang memisahkan agama dari negara dan urusan publik, sehingga urusan agama dan negara tidak saling campur tangan.

Sebenarnya pemerintahan khilafah dalam konteks Islam, memiliki beberapa keunggulan utama. *Pertama* ; khilafah bertujuan untuk menegakkan syariat Islam secara menyeluruh dan menjamin keberlangsungan agama, serta kemaslahatan umat manusia. *Kedua*; khilafah berorientasi pada seluruh dunia, bukan hanya pada satu bangsa atau kelompok tertentu, dan berusaha menyatukan umat Islam dalam satu sistem pemerintahan yang tunggal. *Ketiga* ; khilafah dianggap sebagai prinsip leadership tertinggi, mewakili keunggulan manusia sebagai khalifah di bumi, yang ditugaskan untuk mengatur kehidupan berdasarkan tauhid.

Dalam khilafah, pemimpin diharapkan memiliki ketaqwaan kepada Allah dan bertanggung jawab dalam menjalankan amanah kepemimpinan. Penting untuk diingat bahwa konsep khilafah memiliki interpretasi dan aplikasi yang beragam, dan tidak semua orang memiliki pandangan yang sama tentang keunggulan dan relevansinya dalam konteks modern. Konsep inilah yang sangat ditentang oleh dunia Barat (Eropa), karena bertentangan dengan nilai-nilai kebebasan universal yang memisahkan agama dalam sistem pemerintahannya.

Sekarang ini barat (AS) sedang melakukan protes terhadap UU JPH di Indonesia: Minta Sertifikasi Halal Diubah.

Dikutip dari: Triaspolitica.net, 22/4/2025; Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyampaikan keberatan terhadap penerapan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) di Indonesia, yang dinilai menjadi hambatan teknis dalam perdagangan internasional. Protes ini tertuang dalam Laporan Perkiraan Perdagangan Nasional 2025 yang diterbitkan oleh Kantor Perwakilan Dagang AS / United States Trade Representative (USTR).

Dalam laporan tersebut, AS menganggap bahwa kewajiban sertifikasi halal yang diberlakukan Indonesia terhadap berbagai produk—termasuk makanan, minuman, farmasi, kosmetik, alat kesehatan, produk biologi, dan produk rekayasa genetika—berpotensi mengganggu akses pasar bagi pelaku usaha Amerika. Seluruh proses bisnis dari produksi hingga pemasaran tercakup dalam aturan tersebut.

*Islam Adalah Rival Tangguh Bagi Peradaban Barat*

Pernyataan Terburuk dari Perdana Menteri Inggris: “Agar Terungkap Apa yang Tersembunyi di Hati Mereka”
Terima kasih, Gaza—engkau telah membongkar apa yang lama tersembunyi dalam dada mereka.

Sebuah pengakuan mengejutkan terlontar dari Sir Keir Starmer, Perdana Menteri Inggris saat ini dan mantan anggota parlemen dari Partai Buruh. Pernyataannya mengandung sinyal jujur tentang hakikat persoalan antara Barat dan Dunia Islam. Ia menyatakan, “Masalah utama kami sebenarnya bukan dengan bangsa-bangsa Muslim, bukan pula dengan rezim-rezim penguasa mereka—karena para penguasa itu sejatinya berputar dalam orbit kepentingan kami. Mereka tetap eksis karena perlindungan kami dan melaksanakan kebijakan-kebijakan yang mengamankan kepentingan nasional kami, meski seringkali bertentangan dengan kepentingan bangsanya sendiri.”

Lalu, di mana letak sesungguhnya problematika Barat dalam berelasi dengan Dunia Islam?

Menurut Starmer, “Masalah hakiki kami adalah dengan Islam itu sendiri dan Muhammad, Nabi umat Islam. Sebab Islam adalah agama peradaban yang menyuguhkan jawaban-jawaban mendalam dan rinci terhadap seluruh persoalan eksistensial dan peradaban. Islam adalah rival tangguh bagi peradaban Barat yang kini tengah kehilangan pamor dan sinarnya. Sementara itu, Islam dan Muhammad justru semakin bersinar. Bahkan di tengah masyarakat Eropa sendiri, yang telah diberikan kebebasan berpikir oleh nilai-nilai liberalisme, dan telah melemahkan kekuasaan gereja. Kebebasan berpikir inilah yang telah menuntun banyak kaum intelektual dan generasi muda Eropa untuk memeluk Islam, karena di dalamnya mereka menemukan seluruh jawaban atas dahaga batin, krisis eksistensial, dan kekosongan spiritual yang ditimbulkan oleh peradaban kami yang penuh kontradiksi.”

Maka, lanjut Starmer, “Kami tak punya pilihan selain menghadapi arus Islamisasi dan gagasan Islam melalui berbagai cara. Sebab jika tidak, satu-satunya pilihan lain yang tersisa adalah mengakui bahwa Islam adalah agama Allah yang sejati—agama yang juga dianut oleh Yesus dan para nabi lainnya. Pengakuan ini tentu akan menggiring kami untuk menerima Islam sebagai agama kami, demi meraih kerajaan Tuhan di dunia dan akhirat. Dan itu artinya, kami akan kembali ke titik awal pertarungan antara agama dan negara dalam pemikiran Kristen—yang jelas memiliki perbedaan mendasar dengan Islam dalam persoalan tersebut.”

Oleh karena itu, katanya, “Kami harus melawan Islam, meskipun itu berarti kami harus mengorbankan nilai-nilai liberal yang kami banggakan selama ini. Kami perlu menetapkan hukum-hukum yang membuat umat Islam meninggalkan Eropa—sebagaimana yang dilakukan Swedia dengan melegalkan homoseksualitas dan ateisme secara ekstrem. Hal ini mendorong umat Islam untuk hengkang atau larut dalam peradaban kami, dan akhirnya kehilangan keimanannya. Kami juga harus menghentikan arus migrasi dari negara-negara Islam ke Eropa dan Amerika, dan membuka pintu bagi migran dari non-Muslim. Bahkan jika perlu, bekerjasama dengan negara-negara Islam untuk membatasi perpindahan umatnya ke wilayah kami.”

“Dari sisi lain,” lanjutnya, “kami harus terus mendukung Israel, betapapun keras tindakan mereka, karena “kami tidak boleh membiarkan terbentuknya sistem pemerintahan Islam di Gaza yang bisa menjadi teladan bagi kebangkitan politik Islam” di negara-negara Muslim lainnya. Dalam hal ini, kita bisa memanfaatkan dukungan besar dari negara-negara Arab terhadap Israel, karena mereka sendiri takut akan munculnya sistem pemerintahan Islam atau demokrasi yang berbasis ajaran Muhammad dan Al-Qur’an.”

“Bagi kami, tidak penting apakah yang kami lakukan ini salah, tidak sah, atau tidak bermoral. Itu bukan urusan kami. Yang jelas, kami harus bekerja berdasarkan prinsip bahwa keamanan nasional kami saat ini bertentangan dengan nilai-nilai liberal kami sendiri, dan kami sedang menghadapi tantangan besar dari arus Islam yang muncul dari segala penjuru dunia—bagai uap air yang entah dari mana datangnya, tiba-tiba telah disinari mentari dan menyebar di langit kami.”

Ia mengingatkan, “Kami tidak boleh menguji kebenaran nilai-nilai Islam, karena itu hanya akan menuntun lebih banyak dari kami kepada Islam dan ajaran Muhammad. Tapi kami juga perlu memberi sedikit ruang bagi kekristenan, namun tetap dalam kontrol agar tidak menggoyahkan capaian-capaian peradaban Barat, semata-mata untuk membendung perluasan Islam.”

Kesimpulan tragisnya pun menggema: “Kami kini berada di persimpangan yang menakutkan—melanjutkan nilai liberal berarti membuka pintu arus Islamisasi, sementara kembali ke gereja akan menghancurkan fondasi liberalisme yang menjadi kebanggaan kami. Generasi muda kami bahkan sudah tidak lagi percaya pada Yesus, dan tidak mungkin kembali ke gereja setelah badai keterbukaan tanpa batas melanda Eropa.”

Dan dengan nada ketakutan ia menambahkan, “Saya khawatir, jika semua strategi ini gagal, maka satu-satunya pilihan yang tersisa hanyalah mendorong terciptanya perang besar—yang membatasi kebebasan sipil, menghancurkan tatanan publik, dan menciptakan konflik tak berkesudahan di negeri-negeri Muslim. Tujuannya hanya satu: mencabut Islam dari iklim damai yang menjadi lahan subur penyebarannya. Sebab jika tidak, maka masjid dan menara azan akan memenuhi Eropa, dan para Islamis akan meraih suara mayoritas dalam pemilu, menguasai parlemen, memengaruhi opini publik, ekonomi, dan akhirnya—memerintah Eropa dengan ajaran Islam. (Dikutip dari: The Sun Inggetis, oleh Mutawakkil Abu Ramadan). The Sun adalah sebuah surat kabar tabloid Britania Raya. Sebagai lembar lebar, surat kabar yang dibentuk pada 1964.

Makassar, 23 April 2025

Penulis:
Alumni Civic Hukum/PMP IKIP UP & Alumni FH UMI Makassar.
Ketua Dewan Kehormatan & Kode Etik APSI Prov. Sulsel, Ketua Lembaga Hukum & Kebijakan Publik (LHKP) PDM Kab. Gowa.

Pos terkait