JAKARTA – pantau24jam.net. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tengah dilanda konflik internal yang semakin memanas. Pemecatan Ketua Umum Hendry Ch. Bangun (HCB) oleh Dewan Kehormatan (DK) PWI menjadi pemicu utama polemik ini.
Keputusan tersebut diambil setelah HCB diduga terlibat dalam skandal cashback dana Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang bersumber dari Forum Humas BUMN.
Namun, alih-alih meredam konflik, pemecatan ini justru memicu perpecahan di antara para pendukung masing-masing kubu.
Berdasarkan laporan yang beredar, kasus ini berawal dari pengelolaan dana hibah sebesar Rp6 miliar yang dialokasikan untuk UKW.
Dari jumlah tersebut, sekitar Rp1,08 miliar diduga dialirkan kembali sebagai cashback kepada Forum Humas BUMN, sementara Rp691 juta lainnya diduga masuk ke kantong beberapa pengurus PWI sebagai komisi atau fee.
Praktisi hukum pers, Wina Armada Sukardi, menilai bahwa tindakan ini memenuhi unsur tindak pidana korupsi dan bertentangan dengan etika jurnalistik.
Atas dasar itu, Dewan Kehormatan PWI Pusat memutuskan memberhentikan penuh HCB dari keanggotaan PWI pada 16 Juli 2024. Selain itu, ia bersama tiga pengurus lainnya diwajibkan mengembalikan dana sebesar Rp1,77 miliar ke kas organisasi dalam waktu 30 hari kerja.
Namun, HCB menolak tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran yang dilakukan. Ia mengklaim bahwa pembagian cashback dan marketing fee telah diatur dalam Surat Keputusan PWI Nomor 155-PLP/PP-PWI/2023.
Meskipun aturan ini akhirnya dihentikan pada Mei 2024 karena dianggap berpotensi melanggar regulasi gratifikasi, HCB bersikeras bahwa kebijakan itu masih dalam koridor yang sah.
Pemecatan HCB oleh DK PWI menyebabkan kekosongan posisi Ketua Umum, sehingga organisasi ini menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) PWI pada 18 Agustus 2024 di Jakarta untuk memilih pemimpin baru yang akan melanjutkan sisa masa jabatan 2023-2028.
Namun, HCB menolak keputusan tersebut dan tetap mengklaim dirinya sebagai Ketua Umum PWI yang sah, merujuk pada hasil Kongres PWI di Bandung. Situasi ini menimbulkan kebingungan publik dan menciptakan kesan bahwa PWI terpecah menjadi dua kubu.
Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, Sasongko Tedjo, menegaskan bahwa secara organisasi, HCB tidak lagi memiliki legitimasi di PWI setelah delapan wartawan senior dalam DK secara bulat memutuskan pemberhentiannya. Tidak ada suara dissenting opinion, sehingga keputusan tersebut sah dan mengikat.
“Kami telah menjalankan proses sesuai konstitusi organisasi. HCB bukan lagi anggota PWI setelah 16 Juli 2024, dan Kongres Luar Biasa pada 18 Agustus 2024 menguatkan keputusan tersebut,” ujar Sasongko. Senin, 17/2/2025.
HCB berupaya mempertahankan posisinya dengan mengacu pada Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM sebagai dasar legalitasnya. Namun, Sasongko menegaskan bahwa dirinya juga terdaftar dalam AHU PWI sebagai pengawas, sehingga klaim HCB tidak serta-merta sah.
Untuk mengakhiri sengkarut ini, Dewan Kehormatan PWI Pusat mengajukan permohonan pemblokiran AHU PWI ke Kementerian Hukum dan HAM. Permohonan ini dikabulkan pada 16 Agustus 2024 dengan Nomor: AHU.7-AH.01.0857.
Dengan pemblokiran tersebut, tidak ada pihak yang dapat mengklaim AHU PWI secara sepihak.
Keputusan ini semakin menegaskan bahwa konflik yang terjadi bukanlah perpecahan organisasi, melainkan perebutan kekuasaan di dalamnya. PWI tetap satu, hanya kepemimpinannya yang berubah berdasarkan keputusan Dewan Kehormatan.
Konflik ini semakin memanas akibat dukungan fanatik dari masing-masing kubu. Pendukung HCB menilai pemecatan tersebut tidak sah dan bermuatan politis, sementara pendukung KLB PWI menganggap HCB telah kehilangan legitimasi dan harus tunduk pada aturan organisasi.
Kasus ini telah dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat, H. Helmi Burman, dengan tuduhan penipuan dan penggelapan dana. Penyelidikan masih berlangsung untuk mengungkap fakta-fakta terkait dugaan penyelewengan dana hibah tersebut.
Sementara itu, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd., M.Sc., M.A., memberikan tanggapan keras terkait polemik yang terjadi di tubuh PWI.
“Hanya satu obatnya, Hendry diproses hukum segera. Tetapkan sebagai tersangka dan terdakwa, lalu vonis bersalah sesuai bukti fakta kejahatan merampok uang rakyat yang dilakukannya,” tegas Wilson.
Menurutnya, semua pihak yang terlibat dalam kasus ini harus dipenjarakan, tanpa perlu ada retorika yang berlarut-larut.
“Semuanya sudah sangat jelas, terang-benderang, tidak perlu alibi macam-macam. Aparat tidak punya kemauan dan kemampuan menyelesaikan kasus itu karena Hendry Bangun punya kartu as rahasia para pejabat dan aparat,” katanya.
Lebih lanjut, ia bahkan menuding bahwa PWI telah menjadi sarang mafia.
“PWI sudah jauh dari semangat profesionalisme pers. Ini bukan lagi sekadar konflik internal organisasi, tetapi sudah masuk dalam ranah penyalahgunaan kekuasaan dan kejahatan,” pungkasnya.
Kini, masyarakat pers menantikan bagaimana pemerintah, Kementerian Hukum dan HAM, serta aparat kepolisian akan menyikapi konflik ini. Secara aturan hukum di negeri ini, atau justru membuka babak baru dari polemik yang belum di tangani hingga selesai?
Syarif Al Dhin (SAD) – Jurnalis Independen_