Lanto Daeng Pasewang adalah seorang tokoh pejuang yang berjiwa nasionalis dari Kabupaten Jeneponto. Lahir tahun 1900. Beliau pernah menjabat sebagai Gubernur Sulawesi keempat (1953 – 1956).
Beliau pernah memimpin para aristokrat (pemegang kekuasaan kerajaan berdasarkan keturunan) berangkat ke Yogyakarta untuk mendorong terwujudnya pemerintah RI kembali ke bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbebas dari NIT dan RIS. Iku serta dalam rombongan ini antara lain Andi Mappanyukki, Andi Djemma, Padjonga Daeng Ngalle Karaeng Polongbangkeng, Andi Sultan Daeng Raja.
Saat Jepang mengambil alih kekuasaan Belanda di Indonesia, para pemuda yang bergabung dalam organisasi pergerakan nasional di Sulawesi Selatan didekati untuk diajak bekerja sama dengan Jepang.
Wujudnya, dibentuklah organisasi SUDARA (Sumber Darah Rakyat), dan Lanto Daeng Pasewang diplot sebagai Ketua Pusat
Saat Gubernur Sulawesi DR. G.S.S.J. Ratulangi akan berangkat ke Jakarta memenuhi undangan pemerintah pusat pimpinan Sukarno, sang Gubernur itu mendatangi Lanto Daeng Pasewang untuk berkonsultasi tentang siapakah yang paling berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan, maka Lanto Daeng Pasewang dengan tegas menjawab, bahwa “Yang paling berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan adalah golongan Bangsawan.”
Selanjutnya, dituliskan bahwa seandainya DR. G.S.S.J. Ratulangi tidak menanyakan hal ini kepada Lanto Daeng Pasewang, maka boleh jadi kebijakan yang akan diterapkan DR. G.S.S.J. Ratulangi setelah dilantik menjadi Gubernur Sulawesi akan lain bentuknya karena kemungkinan akan menimbulkan fenomena sosial dalam kehidupan bermasyarakat sehingga kesatuan nasional mengalami kendala.
Dalam suatu riwayat, dijelaskan bahwa saat Andi Mappanyukki kembali dari Jakarta untuk mempertegas akan kesetiaan raja-raja yang ada di Sulawesi Selatan kepada NKRI, maka Lanto Daeng Pasewang pernah mengadakan sumpah setia bersama dengan Raja Bone Andi Mappanyukki dan Datu Luwu Andi Djemma, bahwa “Siapa yang mengkhianati Republik Indonesia (RI) akan digantikan istrinya,” sumpah setia ini diucapkan dalam bahasa Bugis.
Pada masa pendudukan NICA Belanda, keluarga Lanto Daeng Pasewang bersama keluarga DR. G.S.S.J. Ratulangi dan keluarga J. Latumahina dibuang ke Kepulauan Serui (Pulau Japen). Peristiwa ini terjadi pada tanggal 18 Juni 1946. Mereka semua ini diangkut dengan menggunakan kapal terbang CATALINA menuju lokasi pembuangan.
Di kawasan wilayah Jeneponto, kiprah Lanto Daeng Pasewang dalam menentang penjajahan Belanda dilakukan pada bulan September 1945.
Pada saat itu para pemuda yang dipelopori oleh Lanto Daeng Pasewang mengadakan pertemuan di Balumbungan dan kemudian membentuk organisasi perjuangan yang disebut Gerakan Muda Turatea (GMT) sebagai wadah bagi para pejuang Jeneponto untuk menentang Belanda. Pimpinan GMT yang disepakati adalah Malajong Daeng Liwang.
Dalam perkembangannya, GMT bergerak dalam menegakkan pemerintahan RI dan membela kemerdekaan yang sudah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
GMT kemudian dibubarkan dan diganti dengan Laskar Pemberontakan Turatea yang sering disingkat dengan “LAPTUR”.
Gerakan laskar ini lebih radikal dan bersifat revolusioner, tidak ada jalur diplomasi kepada Belanda. Banyak pemuda Jeneponto yang tergabung dalam LAPTUR ini juga gugur dalam mempertahankan kemerdekaan, di antaranya Mattewakkang Daeng Raja, Malajong Daeng Liwang, Azis Tutu, Abdul Rivai Bulu, dan lain sebagainya.
Lanto Daeng Pasewang wafat sekitar tahun 1956. Jasadnya pun dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Panaikang Kota Makassar.
Untuk mengenang perjuangan dan pengabdian serta jasa yang telah ditorehkan Lanto Daeng Pasewang dalam mempertahankan NKRI dan membangun Provinsi Sulawesi Selatan.
Namanya pun diabadikan pada salah satu ruas jalan dalam wilayah yang menjadi batas Kelurahan Maricaya Kecamatan Makassar, Kelurahan Maricaya Selatan Kecamatan Mamajang, dan Kelurahan Mangkura Kecamatan Ujung Pandang Kota Makassar. Dahulu kala Jalan Lanto Daeng Pasewang bernama Jalan Banteng.
#pahlawannasional
#sukumakassar